Kamis, 18 Februari 2010

Pencegahan Trafiking Anak Apa, Mengapa, dan Bagaimana

Trafiking di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks. Anak-anak yang ditrafiking bekerja dengan jam kerja relatif panjang dan rawan kekerasan fisik, mental, dan seksual. Mereka tidak mempunyai dukungan atau perlindungan minimal dari pihak luar. Kesehatan mereka juga terancam oleh infeksi seksual, perdagangan alkohol dan obat-obatan terlarang.

Perdagangan anak, Child Trafficking di Indonesia telah mendapat perhatian dari berbagai kalangan, antara lain kita temukan dari beberapa literatur hasil penelitian Irwanto, Ph.D, Psikolog Universitas Atmajaya, Fentiny Nugroho dan Johanna Debora Imelda, yang melakukan penelitian pada tahun 2001 di empat lokasi – Pulau Bali, Jakarta, Medan, dan Pulau Batam tentang perdagangan anak yang bertujuan antara lain : menggambarkan kebijakan-kebijakan nasional yang relevan dengan masalah perdagangan anak, dan menjelaskan gejala-gejala yang dijumpai dalam perdagangan anak di Indonesia terutama Jakarta, Medan, Bali, dan Batam.

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan informan meliputi pejabat pemerintah, penegak hukum, aktivis LSM, pendidik, dan akademisi, serta wartawan. Kesimpulan penelitian yang dituangkan dalam buku ”Perdagangan Anak di Indonesia,” 2001 (Irwanto, 2001:126-134) adalah : Karena kompleksnya masalah perdagangan anak, maka perlu upaya menggalang kerja sama melalui kemitraan yang menjadi satu-satunya cara yang harus dikembangkan di masa datang supaya penanganan masalah ini menjadi lebih efektif.

Mengatasi permasalahan perdagangan anak tidak hanya melibatkan satu lembaga, akan tetapi harus melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada di masyarakat, yaitu instansi-instansi pemerintah, LSM, organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam sebuah kemitraan yang diperkuat oleh peraturan pemerintah, paling tidak keputusan menteri untuk bersama-sama menangani masalah perdagangan anak. Kesimpulan lain salah satu faktor pendorong perdagangan anak adalah ketidak-mampuan sistem pendidikan yang ada maupun masyarakat untuk mempertahankan anak supaya tidak putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Petugas kelurahan dan kecamatan yang membantu pemalsuan KTP anak yang diperdagangkan juga menjadi faktor pendorong utama perdagangan anak. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan instrumen hukum atau kebijakan yang lebih ketat secara efektif mencegah pemalsuan KTP.

Penelitian tentang anak yang dilacurkan yang dilakukan oleh Universitas Atmajaya dan Yayasan Kusuma Buana menyimpulkan bahwa faktor pendorong anak terlibat dalam perdagangan anak – dilacurkan, antara lain disebabkan oleh kemiskinan ; utang-piutang; riwayat pelacuran dalam keluarga; permisif dan rendahnya kontrol sosial; rasionalisasi; dan stigmatisasi. Penelitian dengan pendekatan kualitatif dilakukan di Jakarta dan Indramayu dengan informan yang terdiri anak - PSK, orang tua anak, konsumen, calo (kecil dan besar), broker, germo, dan petugas desa. Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam buku ”Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih: Fenomena Anak Yang Dilacurkan di Indonesia,” yang diterbitkan oleh ILO tahun 2002 (Andri (ed), 2002:95:101).

Penelitian International Labor Organization (ILO) tentang Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia pada tahun 2002, yang kemudian hasilnya dipublikasikan melalui buku ”Bunga-Bunga Di Atas Padas : Fenomena Pekerja Rumah Tangga Di Indonesia,” menyimpulkan tidak tertutup kemungkinan pada penyaluran ”Pekerja Rumah Tangga Anak” terjadi trafiking anak. Hal ini setidaknya diindikasikan dengan terdapatnya Pekerja Rumah Tangga Anak yang ketika berangkat dari kampungnya, tidak untuk dijadikan sebagai Pekerja Rumah Tangga, tetapi dipekerjakan di tempat lain yang tidak sesuai dengan perjanjian semula (Pandji Putranto, dkk., 2004:190) .

Norma-norma Hukum Penghapusan Perdagangan Anak Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia PBB 1948 ; memuat hak-hak setiap manusia. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia tidak secara tegas berkaitan dengan perdagangan orang, khususnya anak, tetapi Deklarasi ini sebagai suatu deklarasi yang menegaskan setiap individu mempunyai hak bebas, yang secara mendasar terbebas dari trafiking.

Konvensi Hak Anak 1989 ; secara tegas mengatur hak anak yang berbeda dengan orang dewasa. Pada pasal 34 dan 35 Konvensi ini berkaitan langsung dengan penentangan terhadap eksploitasi seksual, perlakuan salah secara seksual, dan perdagangan anak.

Opsional Protokol Konvensi Hak Anak terhadap Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak ; Indonesia belum meratifikasinya. Akan tetapi Protokol ini tidak berkait langsung dengan penghapusan perdagangan anak, tetapi lebih penentangan terhadap prostitusi dan pornografi anak.

KILO 182 Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terpuruk Anak ; penggunaan anak dalam prostitusi dan pornografi dianggap sebagai bentuk pekerjaan terpuruk anak. Konvensi ini sangat berkait erat dengan pekerja anak, sedangkan perdagangan anak tidak termasuk. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini dengan UU No. 1 tahun 2000.

Protokol untuk Mencegah Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia Terutama Anak yang Melengkapi Konvensi PBB untuk Melawan Kejahatan Terorganisir antar Negara ; secara tegas menegaskan definisi perdagangan manusia: “Perdagangan manusia berarti pengerahan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memiliki kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. Pada Protokol ini secara tegas menyebutkan anak “berarti setiap orang yang usianya di bawah delapan belas tahun.”

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Undang-undang ini mengatur secara tegas tentang perdagangan anak.

Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak Keppres No. 88 Tahun 2002 ; lahir karena didorong oleh keprihatinan yang mendalam terhadap berbagai kasus perdagangan anak. Trafficking in Persons Report June 2001 yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menempatkan Indonesia pada peringkat ke-tiga (tetapi pada laporan 2005 menjadi pertingkat ke-dua) dalam upaya penanggulangan perdagangan anak. Negara-negara dalam peringkat ini dikategorikan sebagai (1) negara yang memiliki korban dalam “jumlah yang besar,” (2) pemerintahannya belum sepenuhnya menerapkan “standar-standar minimum” serta (3) tidak atau belum melakukan “usaha-usaha yang berarti” dalam memenuhi standar pencegahan dan penanggulangan perdagangan anak.

Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Anak Kepres No. 88 Tahun 2002 ; dibentuk melalui Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2002. Tujuan umum Gugus Tugas ini adalah terhapusnya segala bentuk perdagangan anak. Untuk Gugus Tugas di daerah, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Departemen Dalam Negeri Nomor 560/1134/PMD/2003 yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota seluruh Indonesia. Dalam surat edaran tersebut diarahkan bahwa focal point pelaksanaan penghapusan perdagangan orang di daerah dilaksanakan oleh unit kerja di jajaran pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan menangani urusan anak melalui penyelenggaraan pertemuan koordinasi kedinasan di daerah dengan tujuan:
a. Menyusun standar minimum dalam pemenuhan hak-hak anak.
b. Pembentukan satuan tugas penanggulangan perdagangan orang di daerah.
c. Melakukan pengawasan ketat terhadap perekrutan tenaga kerja.
d. Mengalokasikan dana APBD untuk keperluan kegiatan.

Pengertian
Perdagangan anak yang dipahami dalam makalah ini perdagangan manusia: “Perdagangan manusia berarti pengerahan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan berupa pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memiliki kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi.

Trafiking, menurut ICMC/ACIL tidak hanya merampas hak asasi tapi juga membuat mereka rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma dan bahkan kematian. Pelaku trafiking menipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan untuk menjerumuskan korban ke dalam prostitusi.
Pelaku trafiking menggunakan berbagai teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban supaya bisa terus diperbudak oleh mereka. Menurut ICMC/ACIL, beberapa cara yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban antara lain (ICMC/ACIL-Mimpi Yang Terkoyak, 2005):
  1. Menahan gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri;
  2. Menahan paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi
  3. Memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika mereka berusaha kabur;
  4. Mengancam akan menyakiti korban dan/atau keluarganya;
  5. Membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat menolong;
  6. Membuat korban tergantung pada pelaku trafiking dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan dalam “perlindungan” dari yang berwajib; dan
  7. Memutus hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman;

Mengapa Trafiking Anak Perlu Dicegah
Penelitian ILO-IPEC tahun 2003 di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jakarta, dan Jawa Barat memperkuat bahwa trafiking di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks karena juga diperluas oleh faktor ekonomi dan sosial budaya. Kualitas hidup miskin di daerah pedesaan dan desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik membuat anak dan orang tua rentan dieksplotasi oleh trafiker. Disamping diskriminasi terhadap anak perempuan, seperti kawin muda, nilai keperawanan, pandangan anak gadis tidak perlu pendidikan tinggi menjadi kunci faktor pendorong. Anak-anak yang ditrafiking bekerja dengan jam kerja relatif panjang dan rawan kekerasan fisik, mental, dan seksual. Mereka tidak mempunyai dukungan atau perlindungan minimal dari pihak luar. Kesehatan mereka juga terancam oleh infeksi seksual, perdagangan alkohol dan obat-obatan terlarang.

Luruh Duit
Luruh duit atau pelacuran menurut Tata Sudrajat, Ahli Manajemen Sosial alumni Universitas Indonesia, merupakan salah satu masalah besar yang di¬ha¬da¬pi Kab. Indramayu sejak dulu sampai sekarang. Ini yang membuat In¬dramayu dikenal sebagai daerah pengirim pelacur di Indonesia. Menurut Kantor Dinas Sosial dan Tenaga Ker¬ja Indramayu, tahun 1999 terdapat 1.530 pelacur. Tahun 2001 meningkat menjadi 1.752 orang pelacur, 25 persen berusia di bawah 18 tahun.

Makna Luruh Duit

  1. Tujuan dari warga yang ‘luruh duit’ menurut Tata Sudarajat adalah untuk mencari kesugihan (kekayaan). Kekayaan ini tergambarkan sebagai suatu kesenangan, supaya ekonominya tercukupi dan tidak kalah dengan orang lain, status sosialnya terangkat dan untuk masa depan yang lebih baik, serta supaya dapat membahagiakan seluruh keluarganya terutama orang tuanya, sehingga secara otomatis akan mendapat penghargaan dari orang-orang sekitarnya dan kebanggaan diri.
  2. Tujuan memperoleh kekayaan, disebabkan oleh dorongan ekonomi karena tidak punya (miskin) dan (untuk) kerja lain membutuhkan tenaga yang berat, atau tidak punya sawah.
  3. Kekayaan – kekayaan diwujudkan dengan rumah yang bagus dibandingkan dengan yang tidak luruh duit, juga berbeda dari orang kaya biasa seperti petani.
  4. Kegagalan memperoleh kekayaan disikapi dengan penerimaan bahwa hal itu sebagai takdir atau nasib buruk. Biasanya mereka berhenti sementara kemudian mencari cara lagi untuk meraih kesuksesan. Beberapa cara merespon kegagalan adalah: (s) Mencari dukun yang ampuh; (b) Operasi plastik; (c) Menjadi kuli, menjadi PRT dan mencari suami
  5. Luruh duit merupakan kebiasaan turun temurun. Sebagai kebiasaan turun temurun, luruh duit menjadi sesuatu yang terbuka dan diterima masyarakat, bahkan masyarakat sangat menerimanya
  6. Selama ini tidak ada sanksi sosial karena dinilai sudah tradisi.
  7. Masyarakat sudah menyadari sebagai kejahatan tetapi ada juga yang menganggapnya tidak demikian. Masyarakat memandang luruh duit bukan suatu kejahatan, melainkan sebuah pekerjaan. Luruh duit sudah tidak dianggap sesuatu yang salah, bahkan menjadi kebanggaan. Luruh duit mudah memperoleh uang dan tidak ada sanksi apapun baik dari pemerintah maupun masyarakat.
  8. Luruh duit tidak melanggar hukum dan apabila ada penipuan dari calo atau germo selalu tidak berdaya karena kekuatan ke¬kuasaan germo dan anak buahnya. Jadi masyarakat tidak menuntut, hanya mengikuti keinginan germo. Dan aparat terkait tidak peduli akan adanya penipuan – penipuan yang dilakukan calo dan germo.
  9. Luruh duit sudah tidak memper¬hitung¬kan halal atau haram. Mereka menikmati kesenangan tanpa memikirkan kehidupan akhirat kelak. Mereka yang luruh duit tidak ke masjid, jarang beramal, tetapi ada juga mantan pelacur yang sudah hajjah yang menyumbang pembangunan masjid.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Luruh Duit
Faktor Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor pendorong utama yang mempengaruhi terjadinya luruh duit, akan tetapi hal ini bukan satu-satunya faktor, karena ada pula warga dan anak-anak yang meskipun miskin, tetapi tidak melakukan luruh duit. Umumnya mereka hanya bekerja sebagai buruh tani dan berpendidikan SD. Bagi warga yang miskin, melakukan luruh duit, dianggap sebagai jalan untuk mengatasi kemiskinan dimana mereka memperoleh keuntungan sekaligus. Pertama, bebas dari kewajiban memenuhi kebutuhan hidup anak atau isteri yang luruh duit dan kedua, memperoleh keuntungan finansial.

Faktor Gaya Hidup ‘Hajatan’
Sekalipun umumnya miskin, tetapi masyarakat setempat mempunyai gaya hidup hajatan yang biasanya harus dilengkapi dengan hiburan, kecuali warga yang sangat miskin. Acara ini biasanya terjadi pada musim panenan, ketika mereka memperoleh pendapatan lumayan dan sekaligus merupakan acara syukuran. Setiap acara hajatan, seperti perkawinan, sunatan, ataupun rasulan (sunatan bagi anak perempuan), hiburan harus selalu ada. Jenis hiburan menunjukkan tingkat status sosial ekonomi orang tua. Kelas atas adalah hiburan orkes dangdut, khas tarling Indramayuan atau Cirebonan. Kelas menengah dengan sandiwara, dan kelas bawah cukup organ tunggal.

Faktor Eksploitasi Terhadap Anak
Anak-anak tidak hanya berada dalam situasi lingkungan yang buruk, tetapi mereka pun dipandang tidak sesuai jika diukur dari hak-hak anak. Orang tua masih memandang bahwa perempuan hanya berada di wilayah domestik. Anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, karena pada akhirnya hanya kembali ke rumah, ke dapur, sumur, dan kasur melayani suami. Akibatnya angka putus sekolah tinggi. Anak perempuan kemudian menjadi TKW, pelacur, pelayan café, atau PRT.
Berdasarkan uraian tersebut terjadi eksploitasi terhadap anak oleh orang tua yang ditandai dengan:
a. Perempuan berada di wilayah domestik sehingga tidak perlu bersekolah tinggi.
b. Anak adalah aset keluarga.
c. Menjadikan anak sebagai pelacur tidak dipahami sebagai kejahatan: tidak ada contoh kasus orang tua diadili karena melacurkan anaknya.
d. Kebiasaan melacurkan anaknya

Faktor Permintaan akan Pelacur
Luruh duit tidak semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor pendorong, tetapi juga karena faktor permintaan pelacur. Permintaan pelacur merupakan kebutuhan untuk mengisi industri seks yang cenderung menjadikan anak-anak sebagai sasaran utama. Luruh duit dimungkinkankarena adanya peran calo dan germo ini. Jaringan kerja calo dan germo di YY sebagai desa pemasok pelacuran tergambarkan berikut ini.

Berdasarkan uraian tersebut, pengaruh permintaan akan pelacur mempengarui luruh duit ditandai dengan:

  1. Calo dan germo merupakan bagian dari jaringan perdagangan anak untuk pelacuran yang menyediakan calon-calon luruh duit untuk memenuhi permintaan akan pelacur.
  2. Permintaan pelacur merupakan kebutuhan untuk mengisi industri seks yang cenderung menjadikan anak-anak sebagai sasaran utama.
  3. Calo dan bahkan germo adalah warga satu desa dengan calon luruh duit sehingga mempermudah informasi, pengiriman, dan komunikasi calo dan calon pelacur.
  4. Calo dan germo mempunyai modal uang yang besar yang dapat memenuhi kebutuhan akan uang warga yang miskin segera.
  5. Calo dan germo sangat aktif mencari calon luruh duit karena secara finansial menguntungkan mereka. Semua beban biaya proses perekrutan dan pengiriman dibebankan kepada warga yang luruh duit sebagai utang. Hal ini menunjukkan faktor eksploitasi terhadap anak.

Bagaimana Pencegahan Trafiking Anak
Kebijakan dan Program Pemerintah Kabupaten Indramayu mengenai prostitusi tertuang pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Prostitusi yang diperbaharui Perda No. 4 Tahun 2001 (Bagian Hukum Setda Kabupaten Indramayu, 2002: 1 –8). Perda tersebut memuat 10 pasal, antara lain ; larangan untuk mendirikan atau mengusahakan serta menyediakan tempat untuk melakukan prostitusi, larangan untuk melakukan, menghubungkan, dan mengusahakan, dan menyediakan orang untuk melakukan perbuatan prostitusi, sanksi hukuman kurungan baik perempuan maupun laki-laki yang melakukan prostitusi selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).


Upaya Masyarakat
Dengan dukungan ILO, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) melakukan Program Prevention of Child Trafficking for Labor and Sexual Exploitation di Kabupaten Indramayu. Tujuan dari program ini adalah :

  1. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah Atas untuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan di dua kecamatan;
  2. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus sekolah dasar;
  3. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan;
  4. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk memfasilitasi usaha sendiri;
  5. Merubah sikap dan pola fikir keluarga dan masyarakat terhadap trafiking anak.
Inti program ini mencegah anak-anak perempuan dilacurkan dengan mengupayakan :
1. Peningkatan partisipasi pendidikan anak-anak baik formal maupun non formal,
2. Pemberian peluang kerja, dan
3. Penyadaran masyarakat untuk mencegah perdagangan anak untuk pelacuran.

0 komentar: