Rabu, 10 Maret 2010

KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL

I. PENDAHULUAN

Komunitas Adat Terpencil (KAT) merupakan salah satu permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia yang memerlukan perhatian semua pihak. Jumlah mereka masih cukup besar, tersebar di lokasi yang relatif sulit dijangkau, dan pada umumnya jauh tertinggal secara ekonomis maupun sosial budaya dibandingkan warga negara lainnya. Mereka itu adalah sebagian warga negara yang memiliki kewajiban dan hak yang sama dengan warga negara lainnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Pada tahun 2002, Departemen Sosial mencatat jumlah KAT sebanyak 240.286 KK atau 1,3 juta jiwa yang tersebar di 25 propinsi. Dari jumlah tersebut yang sedang dalam proses pemberdayaan sebanyak 5.668 KK di 23 lokasi. Dengan demikian jumlah seluruh KAT yang belum diberdayakan sebanyak 236.618 KK. Khusus pada tiga lokasi penelitian, di Jawa Barat 927 KK (4.635 jiwa) termasuk di dalamnya Suku Naga di Tasikmalaya sebanyak 104 KK (1520 jiwa); di Jawa Tengah sebanyak 1.930 KK termasuk 174 KK (624 jiwa); dan di Jawa Timur sebanyak 622 KK atau 3.110 jiwa, termasuk di dalamnya 162KK/810 jiwa Suku Osing di Banyuwangi (Ditjen Dayasos - Depsos, 2002).

KAT menjalani kehidupan dalam kekhasan secara sosial budaya, sehingga mudah dibedakan dengan masyarakat yang relatif lebih maju. Karakteristik umum yang melekat pada mereka ini, yaitu berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen; pranata sosial bertumpu pada kekerabatan, terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau, hidup dengan sistem ekonomi subsisten, menggunakan peralatan dan teknologi sederhana, ketergantungan pada lingkungan alam setempat relatif tinggi, dan terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik (lihat Keppres No. 111/99).

Untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan, maka diperlukan upaya pemberdayaan sosial bagi KAT tersebut. Oleh karena KAT memiliki kekhasan, maka diperlukan studi kasus dalam rangka mendalami kehidupan sosial budaya KAT (Suku Osing). Melalui studi ini, maka akar permasalahan, potensi dan sumber dalam sistem kehidupan sosial budaya Suku Osing dapat diperoleh, yang selanjutnya dijadikan dasar dalam merancang model pemberdayaan yang sesuai kebutuhan bagi mereka.

Atas dasar pemikiran tersebut di atas, permasalahan penelitian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, yaitu (1) bagaimana substansi unsur-unsur kebudayaan Suku Osing? dan (2) bagaimana implikasi unsur-unsur perubahan sosial terhadap keberfungsian sosial Suku Osing? Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut, tujuan penelitian adalah (1) diperolehnya deskripsi tentang substansi unsur-unsur kebudayaan Komunitas Adat Terpencil (bahasa, religi, nilai/adat istiadat, mata pencaharian, kesenian, dan politik) dan (2) diperolehnya deskripsi tentang implikasi unsur-unsur perubahan dengan keberfungsian sosial Komunitas Adat Terpencil.

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, yaitu (1) manfaat praktis, memberikan masukan bagi instansi sosial pusat (Depsos – Ditjen Dayasos) dan daerah (propinsi dan kabupatan/kota), sebagai bahan untuk penyusunan kebijakan dan program pemberdayaan sosial Komunitas Adat Terpencil; dan (2) manfaat teoritis, menambah kepustakaan (konsep-konsep) tentang Komunitas Adat Terpencil, khususnya tentang Suku Osing di Jawa Timur.



Metode Penelitian

Penelitian ini sifatnya deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dengan memperhatikan karakteristik responden yang homogen, maka untuk masing-masing Propinsi ditentukan sebanyak 20 orang (KK) sebagai sampel yang diperoleh melalui teknik random sampling. Dalam penelitian sampel ini akan digunakan data demografi yang tersedia di RT/RW, Dusun atau Kantor Desa. Selain itu, dipilih sumber data dari unsur tokoh masyarakat setempat, tokoh adat dan tokoh agama sebanyak 5 orang, serta unsur pemerintah desa 2 orang.

Penelitian ini menggunakan pendekatan pekerjaan sosial, yang memusatkan pada aspek keberfungsian sosial KAT. Implementasi dari pendekatan pekerjaan sosial ini adalah mensinergikan perspektif antropolgi budaya, sosiologi dan ilmu sosial lain yang relevan. Karena itu, unsur-unsur kebudayaan dan interaksi sosial serta situasi sosial yang mempengaruhi kehidupan KAT akan digunakan sebagai alat analisis dalam mendeskripsikan kehidupan sosial budaya mereka.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Selanjutnya teknis analisis datanya secara kualitatif, yaitu bentuk naratif tentang unsur-unsur kebudayaan dan deskripsi implikasi unsur-unsur perubahan terhadap keberfungsian sosial.
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dua variabel yang menjadi perhatian di dalam penelitian tentang Komunitas Adat Terpencil ini, yaitu “pemenuhan kebutuhan” dan “pertisipasi KAT dalam kegiatan sosial kemasyarakatan”. Sehubungan dengan itu, dalam analisa dan pembahasannya akan dipusatkan pada kedua variabel tersebut. Di samping kedua variabel tersebut, penelitian juga mencoba mendeskripsikan unsur-unsur kebudayaan pada tiga komunitas adat terpencil. Studi terhadap unsur-unsur kebudayaan dalam upaya memperoleh gambaran utuh tentang karakteristik komunitas adat terpencil di tiga lokasi. Dengan mengenali unsur-unsur kebudayaan ini, maka akan diperoleh informasi potensi mereka dalam upaya perubahan.
Unsur-Unsur Kebudayaan

Secara antropologis bahwa manusia dengan kebudayaan ini bagaikan dua sisi dari mata uang. Karena itu, ketika membahas manusia, maka tidak dapat dilepaskan dengan kebudayaannya. Sebagaimana diuraikan dalam tinjauan konseptual, bahwa secara universal manusia memiliki unsur-unsur kebudayaan yang terdiri dari :

¨ Sistem teknologi dan peralatan,

¨ Sistem mata pencaharian hidup,

¨ Kesenian,

¨ Bahasa,

¨ Sistem pengetahuan,

¨ Sistem dan organisasi kemasyarakatan,

¨ Sistem religi dan upacara keagamaan.

Tata urut penulisan tersebut menggambarkan tingkat kemudahan untuk berubah. Dengan demikian sistem teknologi sebagai unsur kebudayaan yang paling mudah berubah atau dirubah, kemudian sistem mata pencaharian, kesenian dan seterusnya. Unsur kebudayaan yang paling sulit berubah atau dirubah, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan

Unsur-unsur perubahan tersebut secara antroplogis direduksi ke dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu (1) ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya, (2) aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) sebagai benda-benda hasil karya manusia. Kemudian di dalam perspektif sosiologis, yang dikaitkan dengan upaya pemberdayaan masyarakat, unsur-unsur kebudayaan tersebut direduksi ke dalam tiga unsur-unsur perubahan, yaitu menjadi (1) teknologi, (2) interaksi sosial dan (3) nilai-nilai. Dalam penelitian ini, unsur-unsur perubahan ini dikaitkan dengan variabel keberfungsian sosial KAT, sehingga akan diperoleh informasi sejauhmana implikasinya dalam kehidupan sosial budaya KAT.

Dilihat dari sistem teknologi dan peralatan, sebagian besar KAT baru mengenal teknologi sederhana, baik untuk aktivitas nafkah (pertanian sawah, kerajinan tangan, ladang) maupun untuk aktivitas kerumah tanggaan (alat memasak, alat penerangan dll). Meskipun di Gebang Sewu sudah dikenal traktor, namun hanya sebagian kecil warga yang mampu menggunakan (sewa). Untuk peralatan rumah tangga, KAT pada tiga lokasi sudah mulai mengenal peralatan memasak dan peralatan makan dari plastik dan aluminium (panci, gelas, piring, timba, penggorengan dll). Analisis mendalam mengenai teknologi dan peralatan ini akan disajikan pada pembahasan tentang pemenuhan kebutuhan.

Jenis mata pencaharian KAT pada tiga lokasi, yaitu pertanian dan untuk Suku Naga di samping pertanian juga kerajinan tangan dari bambu. Untuk komunitas Gebang Sewu dan Suku Naga, mereka mengolah sawah, sedangkan Suku Osing mengolah tanah darat atau ladang (yang pada umumnya sebagai penggarap). Aktivitas nafkah mereka, tidak mampu memenuhi kebutuhan sosial dasar, sehingga mendorong para pemudanya untuk merantau ke luar wilayah. Bahkan para pemuda dari Komunitas Gebang Sewu banyak yang merantau ke luar Jawa (Kalimantan dan Sumatra). Pendidikan yang rendah pada para pemuda perantau tersebut menempatkan mereka pada pekerjaan yang secara ekonomis kurang memberikan imbalan yang layak. Antara lain mereka bekerja sebagai buruh bangunan, buruh perkebunan dan buruh lainnya. Karena itu, kontribusi ekonomis para pemuda yang merantau tersebut tidak banyak merubah kondisi sosial ekonomis keluarga di daerah asalnya.

Perubahan yang terjadi pada masyarakat di luar komunitas, tampaknya cukup kuat memberikan pengaruhnya pada kesenian asli atau kesenian lokal. Kesenian khas seperti rebana (Osing dan Gebang Sewu), terbang gidur (Naga) saat ini sudah kurang dipelihara. Sebaliknya, masyarakat apabila melaksanakan hajatan menyewa “musik dari kaset recorder” atau “VCD”. Karena itu, pendatang dari luar yang berharap dapat menyaksikan kesenian asli pada komunitas tersebut akan kecewa. Fenomena ini menggambarkan, kekayaan KAT yang khas pada tiga lokasi sudah diambang kepunahan. Musik tradisional yang sarat dengan syair-syair yang bersisi petuah-petuah tentang hakikat hidup dan kehidupan, sudah tidak terdengar lagi. Karena itu, kepunahan kesenian tradisional, bukan semata-mata hilangnya kesenian masyarakat lokal, tetapi makin berkurangnya potensi sosial budaya masyarakat lokal secara luas. Pada Suku Osing di luar KAT, dikembangkan berbagai jenis kesenian, baik tarian maupun musik yang sudah dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan dunia musik.

Pada ketiga KAT, dalam percakapan sehari-hari masih sangat kuat menggunakan bahasa ibu. Untuk Suku Naga menggunakan bahasa Sunda, Komunitas Gebang Sewu menggunakan bahasa Jawa dan Suku Osing menggunakan bahasa Osing. Khusus untuk Suku Osing, berbeda dengan dua Kat lainnya, dalam percakapan sehari-hari tidak mengenal tingkatan bahasa. Dengan demikian, percakapan antara anak-orang tua dan sebaliknya menggunakan bahasa yang sama.

Pembahasan mengenai pengetahuan dilihat dari pendidikan masyarakat. Pada umumnya, generasi tua KAT memiliki tingkat pendidikan sangat rendah. Sebagian kecil yang menamatkan SD, dan selebihnya tidak pernah sekolah. Sedangkan bagi anak-anak mereka, sudah mulai ada perkembangan dalam dunia pendidikan, di mana tidak jauh dari permukiman mereka sudah di bangun SD (+ 2 Km) dan SLTP (5 – 8 Km). Pada umumnya mereka memperoleh pengatahuan baru dari tokoh masyarakat (biasanya tokoh agama), aparat desa/dusun dan petugas lapangan dari instansi pemerintah (PLKB, PPL dll).

Sistem dan organisasi kemasyarakatan terkait dengan adat istiadat (hukum adat dan kebiasaan) yang sudah berlangsung sejak lama. Pada Suku Osing dan Komunitas Gebang Sewu, sudah tidak dikenal lagi ketua adat, lembaga adat dan hukum adat. Urusan terkait dengan kependudukan, sanksi dan aturan dalam kehdiupan masyarakat, sepenuhnya menjadi tugas dan kewenangan aparat desa. Sedangkan pada Suku Naga, masih terdapat lembaga adat, hukum adat dan ketua adat. Dengan demikian, masyarakat Suku Naga di samping mentaati aturan dan hukum serta hal-hal lainnya yang berasal dari pemerintah (desa/dusun), juga mentaati aturan dan hukum adat yang berlaku.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa KAT di tiga lokasi menganut agama Islam. Namun demikian, selain melaksanakan ibadah ritual wajib (sholat, pusat dll), mereka juga melaksanakan ritual yang dikaitkan dengan kepercayaan lokal. Pada Komunitas Gebang Sewu, pada waktu-waktu tertentu menyelenggarakan do’a bersama di bawah pohon Sepat. Demikian halnya dengan dua komunitas lainnya, mereka juga menyelenggarakan upacara selamatan dalam pendirian rumah, kelahiran, panen, dan tolak bala.

Pemenuhan Kebutuhan

Dalam tinjauan konseptual, variable “pemenuhan kebutuhan”, di turunkan ke dalam sub-variabel, yaitu pemenuhan “kebutuhan pokok”, “kebutuhan psiko-sosial” dan “kebutuhan pengembangan”.

Secara ekonomis, komunitas di tiga lokasi masih terbatas dalam memenuhi kebutuhan sosial dasar, terutama untuk pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal dan kesehatan. Hal ini berdasarkan temuan penelitian, dimana dilihat dari frekuensi dan menu makanan yang dikonsumsi, jumlah pakaian yang dimiliki dan kondisi rumah tinggal, belum mencerminkan kondisi yang layak. Kemudian terkait dengan permsalahan kesehatan, pada umumnya mereka belum membuang kotoran di WC. Mandi, cuci dan kakus (MCK) dilaksanakan di sungai dan atau sawah/ ladang. Kondisi ini menggambarkan, bahwa komunitas di tiga lokasi masih relatif rendah kesadarannya akan kesehatan keluarga dan lingkungannya.

Terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok ini, penelitian ini mencoba mencermati aspek teknologi, interaksi sosial dan nilai-nilai. Khusus untuk peralatan memasak, Suku Naga dan Komunitas Gebang Sewu sudah mengenal kompor minyak. Dengan demikian, untuk keperluan memasak, mereka sudah mengkombinasikan antara bahan bakar minyak tanah dan kayu bakar. Sedangkan pada Suku Osing masing menggunakan “pawonan” dengan bahan bakar kayu.

Peralatan lain, seperti untuk keperluan mencuci, menyimpan pakaian, merawat pakaian (termasuk setrika), pada Suku Naga dan Komunitas Gebang Sewu lebih maju dibandingkan dengan Suku Osing. Suku Osing, sebagaimana kedua komunitas lainnya sudah mengenal sabun mandi, sabun cuci (deterjen, rinso, dan untuk Suku Osing ada biji biru) dalam upaya perawatan pakaian. Namun demikian, pada umumnya mereka belum mengenal setrika.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok tersebut, pada umumnya mereka mengembangkan komunikasi dan interaksi sosial dengan komunitas dari luar atau etnis lain. Bentuk komunikasi dan interaksi sosial tersebut, dalam bentuk jual beli, atau bekerja pada etnis lain. Mereka sudah mulai menerima pengetahuan baru tentang kesehatan, pertanian dan keterampilan ekonomis dari instansi pemerintah terkait. Dengan demikian, mereka relatif sudah terbuka terhadap budaya orang luar. Hal ini, memungkinkan mereka untuk mengalami proses belajar sosial mengenai budaya dan pengetahuan baru dari komunitas luar. Keterbukaan terhadap budaya luar ini, merupakan kondisi yang dapat mendukung upaya perubahan pada komunitas.

Pada komunitas di tiga lokasi, tidak ditemukan nilai lokal yang menghambat upaya pemenuhan kebutuhan pokok. Tidak ada pantangan atau aturan khusus bagi komunitas untuk mengkonsumsi makanan, memakai pakaian (pola, warna) membangun rumah (model). Begitu pula dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan, meskipun pada umumnya mereka memanfaatkan jasa dukun, tidak terkait dengan nilai lokal. Mereka memanfaatkan dukun, karena biayanya lebih murah dan mudah menjangkau karena dukun tersebut tinggal di lingkungannya. Sementara itu memperoleh pelayanan medis, mereka menempuh jarak yang cukup jauh. Karena tenaga medis tinggalnya di luar permukiman mereka.

Dari analisa dan pembahasan temuan penelitian pada aspek pemenuhan kebutuhan pokok ini, diperoleh informasi bahwa “keterpencilan geografis” pada komunitas di tiga lokasi, menyebabkan mereka mengalami keterbatasan dalam mengakses pelayanan sosial dasar. Keterpencilan geografis ini juga menyebabkan potensi dan sumber daya lokal yang ada belum dapat dibudidayakan secara optimal. Akibatnya, komunitas pada tiga lokasi berada dalam lingkaran keterbatasan secara ekonomis maupun sosial budaya secara turun temurun.

Apabila memperhatikan unsur kebudayaan dan unsur perubahan yang ada pada mereka, upaya perubahan bagi mereka tidaklah sulit. Karena semua unsur yang ada pada umumnya cukup mendukung ke arah terjadinya perubahan. Untuk itu, perlu ditemukan sebuah celah masuk yang tepat bagi masing-masing komunitas disesuaikan dengan kondisi lokal.

Jenis kebutuhan kedua adalah kebutuhan sosial-psikologis. Jenis-jenis kebutuhan ini, yaitu pendidikan, rekreasi, transportasi dan interaksi sosial. Temuan penelitian menunjukkan, bahwa pada umumnya untuk generasi tua pendidikannya sangat rendah. Sesuai dengan tingkat perkembangannya, pendidikan bagi mereka belum menjadi perhatian penting. Sebaliknya, mereka lebih berorientasi pada mencari nafkah. Namun demikian, sebagai akibat dari proses interaksi sosial dengan dunia luar, dan nilai lokal yang mendukung terhadap pendidikan formal, saat ini sudah mulai ada kemajuan dalam bidang pendidikan. Anak-anak mereka sudah disekolahkan pada lembaga pendidikan formal yang berada di luar dusun.

Kemudian untuk kebutuhan rekreasi, yang paling sering dilakukan oleh komunitas di tiga lokasi, yaitu berkumpul bersama anggota keluarga. Bersama anggota keluarga, mereka dapat mencurahkan berbagai permasalahan, sehingga beban psikologis dapat dikurangi. Sebaliknya, bersama keluarga mereka dapat membagi kegembiraan. Meskipun, bentuk rekreasi yang dilakukan mereka relatif sederhana, namun bagi mereka nilai dan manfaatnya dapat mengurangi tekanan psikologis.

Kemudian mengenai transportasi, pada umumnya mereka tidak memilikinya. Untuk bepergian jarak dekat atau dalam lingkungan atau dusun, mereka berjalan kaki. Sedangkan itu, bepergian di luar dusun mereka menggunakan angkutan pedesaan roda empat atau ojek sepeda motor.

Selanjutnya mengenai interaksi sosial komunikasi, baik di dalam keluarga maupun dengan tetangga dan masyarakat luar pada umumnya baik. Untuk kepentingan ini, komunitas mengembangkan perkumpulan sosial lokal sebagai media untuk melaksanakan aktivitas bersama. Komunikasi dengan orang luar (etnis lain) pada umumnya baik, selama orang luar tersebut bermaksud baik. Mereka mau menerima pengetahuan baru dari masyarakat luar, meskipun berbeda etnis dan agama.

Jenis kebutuhan terakhir adalah kebutuhan pengembangan, yang di dalamnya meliputi tabungan dan aksesibilitas terhadap informasi. Sebagian besar komunitas belum memiliki perhatian akan pentingnya tabungan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dengan kondisi ekonomis mereka yang sangat terbatas. Mereka tidak dapat menyisihkan sebagian penghasilannya untuk tabungan, karena untuk mencukup kebutuhan hidup sehari-hari saja sudah mengalami kesulitan. Karena itu, penghasilan mereka dikonsumsi habis, meskipun menurut mereka tabungan itu diperlukan pada situasi darurat.

Kemudian mengenai akses terhadap informasi, media yang paling banyak digunakan adalah pertemuan warga. Dalam pertemuan warga (seperti pada saat arisan, pengajian/ yasinan, undangan selamatan dll), terjadi penyampaian informasi dari warga atau tokoh masyarakat. Khusus untuk komunitas Gebang Sewu, selain pertemuan warga mereka memperoleh informasi dari media elektronik seperti TV dan radio. Hal ini menggambarkan, bahwa pada umumnya komunitas memanfaatkan media komunikasi tradisional. Dengan media ini, di samping lambatnya lalu lintas informasi sampai ke komunitas, juga terbatasnya informasi yang diperoleh oleh komunitas tersebut. Karena itu, informasi tentang kegiatan pembangunan dan hasil-hasil yang sudah dicapai dari aktivitas pembangunan itu, tidak banyak yang diketahui oleh komunitas pada tiga lokasi penelitian.

Partisipasi Masyarakat

Aspek atau variabel kedua dari konsep keberfungsian sosial yang digunakan di dalam penelitian ini, yaitu partisipasi masyarakat (KAT) dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Partisipasi sosial masyarakat ini selanjutnya di turunkan ke dalam aspek atau sub variabel (1) pemeliharaan sumber daya alam, (2) pemeliharaan persatuan dan kesatuan, (3) kontrol sosial, (4) keamanan lingkungan, dan (5) pemeliharaan identitas komunitas.

Komunitas Adat Terpencil (KAT) di tiga lokasi, memperlihatkan adanya ketergantungan pada sumber daya alam lokal. Ketergantungan terhadap sumber daya alam ini teramati dari jenis mata pencaharian penduduk di sektor pertanian. Khusus untuk Suku Naga, di samping bertani, mereka juga memiliki mata pencaharian sebagai pengrajin anyaman bambu. Karena hidup dari alam sekitarnya, maka mereka berupaya untuk memelihara lingkungannya antara lain dengan mengolah sawah atau ladang dengan tanaman produktif, penghijauan, mempertahankan mata air sebagai sumber air utama yang dilakukan secara gotong royong. Bagi mereka alam perlu terus dipelihara kelestariannya, karena telah memberikan kehidupan secara turun temurun.

Dilihat dari pola permukiman, pada umumnya mereka membangun tempat tinggal bergerombol yang terdiri dari 4 – 6 rumah, dan sebagian kecil yang terpencar-pencar. Meskipun sebagian mereka tinggal berjauhan dengan yang lain, persatuan dan kesatuan tetap terpelihara dengan baik. Bahkan dengan orang dari luar etnis mereka, persatuan dan kesatuan senantiasa terpelihara dengan baik. Berbagai instrumen yang sebagai mekanisme untuk memelihara persatuan dan kesatuan ini, seperti upacara barikan pada komunitas Gebang Sewu, majelis taklim dan selamatan dan pertemuan warga secara berkala pada ketiga komunitas. Dengan adanya berbagai instrumen tersebut, permasalahan yang bersumber dari kesalahpahaman antar warga masyarakat dapat diselesaikan secara kekeluargaan atau jalan damai.

Hidup di wilayah pedesaan yang tidak luas, dengan penduduk yang relatif homogen, baik dari segi etnis maupun agama dan bahkan sebagian dari mereka masih satu keturunan (trah), merupakan kondisi alamiah yang menjadi alat kontrol terhadap perilaku warga masyarakat lokal. Dalam kondisi demikian ini, kejadian “baik atau buruk” yang dilakukan oleh seorang warga masyarakat dengan cepat diketahui oleh masyarakat luas. Karena itu, bagi warga yang melakukan perbuatan “buruk” ia dan keluarganya akan dikenal oleh masyarakat, sehingga bagi keluarga tersebut menjadi “aib”.

Apa yang dilakukan oleh masyarakat terkait dengan kontrol sosial ini sudah baik, yaitu dengan mengajarkan agama dan tradisi mulai dari dalam keluarganya. Kemudian, untuk kegiatan yang melibatan semua warga masyarakat, dilakukan berbagai kegiatan sebagaimana pada upaya pemeliharaan persatuan dan kesatuan, yaitu pertemuan warga, majelis taklim, selamatan atau kondangan, upacara adat (barikan) dan sebagainya. Kondisi ini menggambarkan adanya nilai kesetaraan dan kerukunan yang dijunjung tinggi oleh semua warga masyarakat. Khusus untuk komunitas Suku Naga, dimana mereka di samping memiliki perangkat desa juga memiliki perangkat adat (ketua adat, lembaga adat dan hukum adat), mereka menjaga betul perilaku sosialnya karena di samping mendapatkan sanksi secara hukum formal juga mendapatkan sanksi dari lembaga adat.

Meskipun masyarakat telah melaksanakan berbagai aktivitas dalam upaya memelihara persatuan dan kesatuan serta kontrol sosial, masyarakat secara bergotong royong melakukan kegiatan untuk memelihara keamanan lingkungannya. Seperti pada Suku Osing, gangguan keamanan datang dari komunitas luar, seperti pencurian ternak dan serangan dari komunitas luar (kasus Ninja pada tahun 1999). Sedangkan pada komunitas Gebang Sewu dan Suku Naga sampai saat ini belum ada ganggung keamanan, baik dari dalam maupun dari komunitas luar. Namun demikian, sebagai upaya memelihara keamanan lingkungan, ketiga komunitas melakukan ronda malam secara bergantian. Hal ini menggambarkan, bahwa masyarakat tetap merasa bertanggung jawab untuk memelihara keamanan dan kenyamanan teritorialnya dari berbagai macam gangguan.

Dewasa ini arus globalisasi tidak dapat dihindari, dan dampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat di manapun. Masuknya teknologi di bidang eletronik misalnya, telah menjadikan kebudayaan lokal tergeser ke pinggiran dan terancam punah. Maka tidak mengagetkan, kalau mereka yang dikategorikan sebagai komunitas adat terpencil, dengan bangga memutar musik dari tape recorder, VCD atau layar tancap ketika mengadakan syukuran atau hajatan. Sementara itu musik asli seperti rebana, terbang genderung, berjanzi dan tarian lokal tidak lagi diminati. Kondisi ini menggambarkan, bahwa masyarakat cenderung mulai mengalami kemerosotan dalam memelihara identitasnya. Upaya pemeliharaan identitas sebagai komunitas yang masih menonjol, adalah penggunaan bahasa ibu untuk percakapan sehari-hari, baik di dalam lingkungan keluarga maupun dengan warga masyarakat setempat; dan melaksanakan tradisi seperti selamatan dan upacara keagamaan.

Adanya kecenderungan makin memudarnya upaya pemeliharaan kesenian asli, dan sebaliknya mengembangkan seni dari luar, merupakan salah satu gejala memudarnya potensi lokal. Hal ini juga bisa dipahami sebagai makin memudarnya kebanggaan masyarakat terhadap kekayaan dan warisan leluhurnya.

Informasi yang dapat diperoleh dari pembahasan temuan penelitian pada Suku Naga, Komunitas Gebang Sewu dan Suku Osing adalah :

Pertama, dalam pemenuhan kebutuhan yang meliputi kebutuhan pokok, sosial-psikologis dan pengembangan, mereka masih dihadapkan oleh keterbatasan untuk mencapai standar kehidupan yang layak. Di sisi lain masyarakat memiliki potensi alam, kelembagaan lokal dan kearifan lokal.

Kedua, partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan pada umumnya sudah mendukung terhadap kebijakan pembangunan. Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya nilai sosial budaya lokal yang tidak mendukung terhadap kebijakan pemerintah dalam pembangunan. Namun demikian, ada kecenderungan mulai memudarnya kebanggaan masyarakat terhadap kekayaan sosial budaya lokal.

III. PENUTUP

Hakikat pembangunan kesejahteraan sosial adalah upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial perorangan, keluarga, kelompok dan komunitas masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap orang mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan. Kemudian dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan kesejahteraan sosial sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan integrasi sosial melalui peningkatan ketahanan sosial dalam tata kehidupan dan penghidupan bangsa di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh karena itu, pembangunan kesejahteraan perlu memberikan sumbangan yang nyata dan bermakna terhadap pencapaian tujuan pembangunan nasional tersebut, yaitu “mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, materil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.

Memperhatikan hakikat pembangunan kesejahteraan sosial tersebut, temuan penelitian tentang kehidupan sosial budaya Komunitas Adat Terpencil (KAT), yaitu Suku Naga, Komunitas Gebang Sewu dan Suku Osing, ada implikasi bagi kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial. Perundang-undangan yang ada (Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Menteri Sosial) kiranya sudah mencukupi sebagai landasan pelaksanaan pemberdayaan sosial KAT. Selanjutnya, bagaimana perundang-undangan tersebut dioperasionalkan ke dalam program dan kegiatan terencana yang benar-benar mampu menjawab kebutuhan akan pelayanan sosial dasar KAT pada saat ini.

Sejumlah aspek yang teridentifikasi dalam penelitian ini, sebagai bahan pertimbangan dalam merancangkembangkan program pemberdayaan sosial KAT, yaitu :

¨ Aspek sosial, yang di dalamnya meliputi :

Ø Kearifan lokal dan kelembagaan lokal.

Ø Kesejahteraan keluarga.

Ø Sosial kemasyarakatan.

Ø Mental-spiritual.

Ø Kesehatan dan reproduksi.

Ø Pelestarian SDA.

Ø Kekayaan sosial budaya lokal.

¨ Aspek ekonomis, yang di dalamnya meliputi :

Ø Teknologi baru (Teknologi Tepat Guna).

Ø Usaha ekonomis dengan mekanisme kelompok.

Ø Jaringan pemasaran produksi.

Ø Manajemen usaha dan pemanfaatannya.

Ø Stimulan bergulir.

¨ Aspek darurat, yang di dalamnya meliputi :

Ø Kesehatan dan gizi anak.

Ø Bantuan natura.

Ø Pemugaran rumah.

Ø MCK umum.

Sebagaimana acuan konseptual yang digunakan dalam penelitian ini, bahwa ada tiga unsur perubahan yang dikaitkan dengan pemberdayaan masyarakat, yaitu aspek teknologi, interaksi sosial dan nilai-nilai. Sehubungan dengan itu, maka aspek aspek, ekonomi dan darurat tersebut di atas, dalam implementasinya perlu mempertimbangkan unsur-unsur perubahan ini. Berdasarkan tingkat kemudahannya untuk berubah, teknologi merupakan aspek yang paling mudah berubah, kemudian aspek interaksi sosial dan aspek nilai-nilai.

Kemudian dalam implementasinya, program pemberdayaan sosial KAT perlu mengembangkan prinsip praktek maupun prinsip etis yang berlaku di dalam pekerjaan sosial. Di dalam pekerjaan sosial dikenal dengan adanya prinsip praktek, bahwa pertolongan itu diberikan agar seseorang atau komunitas dapat menolong dirinya sendiri (help people, help them self). Kemudian ada prinsip etis, seperti individualisasi (individualization) dan penentuan diri sendiri (self-determinination). Prinsip-prinsip ini menempatkan KAT sebagai subyek dalam pemberdayaan diri dan lingkungannya. Sehubungan dengan itu, sejak proses assesmen, merencakan kegiatan, melaksanakan rencana dan evaluasi, KAT perlu dilibatkan.

Prinsip praktek maupun prinsip etis tersebut, menempatkan pihak luar dalam proses pemberdayaan KAT ini dalam fungsi fasilitasi, mediasi dan informasi. Pihak luar mendatangi KAT bukan sebagai “pembawa obat mujarab” yang dapat menyembuhkan pasien. Tetapi ia datang untuk bersama-sama dengan KAT menemukan “resep” yang tepat dengan kebutuhan KAT tersebut.

1 komentar:

Njowotenan mengatakan...

mumet lek moco sampek sampe.