Rabu, 10 Maret 2010

KEMISKINAN DAN KEBERFUNGSIAN SOSIAL Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia

I. PENDAHULUAN

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan kesejahteraan sosial yang krusial. Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin pernah mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 1996-1998 persentase mereka menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS dan Depsos 2002).

Dalam rangka penanganan kemiskinan, hampir semua kajian masalah kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigm) dan the product cantered model yang kajiannya didasari teori pertumbuhan ekonomi capital dan ekonomi neoclasic ortodox (Elson, 1977, Suharto, 2002). Hal ini tercermin dari tolak ukur yang digunakan untuk melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross National Product (GNP), Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of Life Index (PQLI).

Jika dicermati, pendekatan yang dipergunakan masih melihat kemiskinan sebagai individual poverty dan bukan structural and social Poverty. Sistem pengukuran serta indikator yang digunakan terpusat untuk meneliti “kondisi” atau keadaan kemiskinan berdasarkan variabel sosial-ekonomi yang dominan. Pendekatan dimaksud belum menjangkau variabel yang menunjukkan dinamika kemiskinan dan berporos pada outcomes sehingga kurang memperhatikan aktor atau pelaku kemiskinan serta sebab-sebab yang mempengaruhinya.

In its standardised conception of poverty, for example, the poor are seen almost as passive victims and subjects of investigation rather than as human beings who have something to contribute to both the identification of their condition and its improvement (Suharto, 2002: 68).

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang komprehensif, yang dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan yang fokus utamanya membantu orang untuk dapat membantu dirinya sendiri. Dalam pertolongannya, pekerja sosial berpijak pada nilai, pengetahuan dan keterampilan yang menekankan pada prinsip keberfungsian sosial (Siporin, 1975; Zastrow, 1982; 1989; Morales, 1989; Suharto, 1997). Konsep keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada kapabilitas (capabilituies) individu, keluarga atau masyarakat dalam peran-peran sosial di lingkungannya. Konsep ini mengkedepankan nilai bahwa klien adalah subjek pembangunan; klien memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan; klien memiliki dan atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi aset dan sumber yang ada disekitarnya. Dalam konteks ini yang menjadi persoalan adalah:

¨ Bagaimana karakteristik dan permasalahan kemiskinan ditinjau dari konsep keberfungsian sosial

¨ Bagaimana penanganan kemiskinan yang efektif

¨ Bagaimana waktu dan biaya yang diperlukan dalam mengatasi kemiskinan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

¨ Kapabilitas keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar

¨ Kapabilitas keluarga dalam melaksanakan tanggung jawab dan peranan sosialnya

¨ Kapabilitas keluarga dalam menghadapi goncangan dalam kehidupannya

¨ Efektivitas program anti kemiskinan yang pernah ada di lokasi penelitian

¨ Model kelembagaan penyelenggara program-program anti kemiskinan

¨ Merancang model pengentasan kemiskinan yang bermatra keberfungsian sosial sehingga diketahui :

§ Strategi pengentasan kemiskinan yang sensitif karakteristik dan potensi keluarga miskin

§ Kriteria pendamping program

§ Lembaga pendukung program

§ Waktu dan biaya yang diperlukan.

Fokus penelitian ini adalah keberfungsian sosial penyandang masalah kemiskinan. Keberfungsian sosial dilihat dari keberfungsian individu dan keberfungsian institusional, hal ini didasari konsep kemiskinan yang terdiri atas dimensi internal dan eksternal. Keberfungsian individu diukur dengan pemenuhan kebutuhan dasar, pelaksanaan peran sosial dan strategi penanganan terhadap goncangan kehidupan. Hal ini merupakan gabungan dari berbagai konsep dan dikembangkan peneliti. Sementara itu keberfungsian institusional diukur dari program-program anti kemiskinan yang sudah dan sedang berjalan sebagai bahan masukan dalam merumuskan kriteria dan kualifikasi, tenaga pedamping dan lembaga pendukung sebagai pelaksana model pengentasan kemiskinan yang dirumuskan peneliti.

Kemiskinan dan keberfungsian sosial merupakan penelitian kasus dengan rapid assesment, yaitu metode riset yang menggunakan strategi pengumpulan data mutakhir untuk memperoleh pemahaman tentang suatu realitas atau situasi sosial yang spesifik di dalam konteks sosial budaya tertentu. Metode ini merupakan perpaduan dari pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Temuan yang dihasilkan berupa deskriptif, analitik dan statistik tergantung pada tujuan khusus dari penelitian secara akurat dan dapat mewakili permasalahan yang ditelitinya (generalize), bahkan dapat diulang dengan tingkat hasil yang relatif memadai.

Analisis data yang akan digunakan adalah kuantitatif dan kualitatif. Data dalam bentuk angka-angka akan disajikan dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi dan diperkuat dengan analisa yang bersifat kualitatif terhadap temuan-temuan yang menonjol yaitu data yang ditafsirkan dan dipahami dalam bentuk narasi atau pernyataan yang logis.

Sasaran lokasi terdiri dari 17 propinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara). Setiap propinsi diambil dua tipe wilayah (pasangan administratif dan geografis, yaitu: Desa, Kelurahan, Pesisir kota, Pesisir desa), maka diperoleh pasangan tipe wilayah sebagai berikut: (1) Desa dan Kelurahan (2) Desa dan Pesisir Desa, (3) Desa dan Pesisir Kota (4) Kelurahan dan Pesisir Desa, (5) Kelurahan dan Pesisir Kota, (6) Pesisir Desa dan Pesisir Kota. Jumlah sampel pada masing-masing tipe lokasi sekurang-kurangnya 20 responden. LSM dan Aparat Pemerintah yang menangani kemiskinan diambil secara purposif minimal 5 orang perwakilan untuk mendapatkan gambaran efektivitas program anti kemiskinan dan harapan di masa mendatang.

Sumber data terdiri dari (1) Sumber data primer (keluarga miskin, baik yang berada di wilayah perkotaan maupun di pedesaan, dan pesisir kota serta pesisir desa) dan (2) Sumber data sekunder. Untuk menambah keabsahan dan keluasan data, juga dilakukan pengambilan data sekunder, yaitu pihak-pihak yang terkait dalam masalah penanganan masalah kemiskinan di tiap wilayah yaitu tokoh masyarakat (guru, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan aparat pemerintahan lokal). Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah: (1) Wawancara untuk responden keluarga miskin di pedesaan dan perkotaan, serta pesisir sebagai sumber data primer. (2) Focused Group Discussion (Diskusi Kelompok Terfokus) untuk berbagai unsur terkait (aparat pemerintah lokal, dinas terkait, tokoh masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di daerah setempat). Dan (3) Studi Dokumentasi, dengan mempelajari buku dan atau literatur, hasil-hasil penelitian, catatan tertulis dan sebagainya yang relevan dengan tujuan penelitian studi kasus ini.
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Demografi

Berdasar data dan informasi yang terhimpun dari penelitian ini dapat di kemukakan, bahwa karakteristik lokasi penelitian terdiri dari 9 pedesaan, 9 perkotaan, 12 desa pesisir, dan 9 kota pesisir. Data dan informasi terhimpun dari 221 responden masyarakat terdiri dari 67,5% responden pria dan sisanya (32,5%) wanita. Rata-rata usia responden adalah 40 tahun dengan sebaran antara 26 tahun – 50 tahun (72,59%). Dari status perkawinan, mayoritas responden (88,8%) kawin, sisanya adalah janda (6,3%) belum kawin (3,1%) dan duda (1,9%). Rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 5 orang. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai buruh dan nelayan (56,71%) sedangkan sisanya bekerja di sektor lain.
Keberfungsian Matra Individu

Keberfungsian matra bermatra individu difokuskan pada tiga aspek (1) kapabilitas dalam memenuhi kebutuhan dasar, (2) kapabilitas dalam pelaksanaan peran sosial, dan (3) kapabilitas dalam menghadapi goncangan dan tekanan.

Kapabilitas Dalam Memenuhi Kebutuhan Dasar

Kapabilitas keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar merupakan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi (dilihat dari pengeluaran keluarga), kemampuan dalam memenuhi kebutuhan human capital atau kemampuan menjangkau pendidikan dasar (dilihat dari tingkat pendidikan formal yang ditamatkan; kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan security capital atau kemampuan menjangkau perlindungan dasar (yang dilihat dari kepemilikan tempat tinggal).

Dari aspek ekonomi (pengeluaran keluarga), dapat ditinjau dari ketentuan BPS (2002) yang menyebutkan bahwa Garis Fakir Miskin (GFM) di lihat dari pengeluaran sebesar Rp. 91.192,00,- perkapita perbulan atau GFM keluarga (5 jiwa) sebesar Rp.460.960,-. Berdasar angka tersebut, peneliti mengkategorikan keluarga menjadi tiga kelompok yaitu:

¨ Keluarga miskin (detitute) yaitu keluarga yang memiliki pengeluaran perkapita Rp. 91.192,- perbulan atau sebesar Rp.460.960,- perkeluarga perbulan.

¨ Keluarga berkembang, yaitu keluarga yang memiliki perkapita perkapita 2 x Rp.91.192,- = Rp.184.384,-perbulan atau sebesar 2 x Rp.460.960,- = Rp. 921.920,-perkeluarga perbulan.

¨ Keluarga maju yaitu keluarga yang memiliki perkapita perkapita 3 x Rp.91.192,- = Rp.276.576,- perbulan atau sebesar 3 x Rp.460.960,- = Rp.1.382.880,- perkeluarga perbulan.

Dari hasil penelitian dapat diperoleh data, bahwa rata-rata pengeluaran keluarga responden per bulan sebesar Rp.386.570,-. Jika rata-rata tiap keluarga berjumlah 5 orang, maka pengeluaran perkapita perbulan adalah sebesar Rp.77.314,-.

Jika dilihat dari rata-rata pengeluaran berdasarkan tipe wilayah rinciannya adalah: (1) Perdesaan sebesar Rp.331.000,- (2) Perkotaan : Rp.344.480,- (3) Desa Pesisir : Rp.308.310,- dan kota pesisir: Rp.533.640.

Berdasarkan angka GFM Rp.460.960,-, maka hanya rata-rata pengeluaran keluarga miskin di kota pesisir saja yang berada di atas garis fakir miskin. Namun, mereka masih berada di bawah garis miskin (poor). Bila dikaji lebih jauh, ternyata keluarga responden di daerah pedesaan, perkotaan dan desa pesisir masih berada relatif jauh di bawah garis fakir miskin. Dalam rangka mencukupi kebutuhan keluarga, 38,10% responden mencari penghasilan tambahan sementara yang lainnya tidak (61,90%).

Dari aspek kemampuan keluarga dalam menjangkau pendidikan dasar (human capital) dapat dikemukakan, bahwa sebagian besar (69,4%) responden berpendidikan rendah. Hal ini tercermin dari mereka yang Tidak sekolah (1,2%), Tidak Tamat SD (27,2), Tamat SD sebesar 41,0%, Tamat SLTP (19,3%), Tamat SLTA (10,5%), dan tamat Perguruan Tinggi (0,7%). Apabila dilihat dari standar pemerintah (Wajib Belajar 9 tahun), kenyataan ini masih jauh dari harapan.

Aspek penjangkauan perlindungan dasar (security capital) akan dilihat dari status kepemilikan tempat tinggal atau rumah. Meskipun dari aspek GFM mereka berada di bawah garis kemiskinan, namun sebagian besar (77,1%) keluarga telah memiliki rumah sendiri (terlepas memadai atau tidaknya rumah yang mereka tempati). Selebihnya 14,8% keluarga masih menumpang dan 5,5% keluarga menempati rumah sewa atau kontrakan.

Kapabilitas dalam pelaksanaan peran Sosial

Tinggi rendahnya kapabilitas seseorang dalam pelaksanaan peran sosial dilihat dari frekuensi pelaksanaan peran mulai dari tidak pernah (skor 1) kadang-kadang (skor 2) dan sering (skor 3).Responden yang memiliki mean mendekati skor 3 adalah tinggi dan skor jawaban yang mendekati angka 1 adalah rendah. Peran sosial kepala keluarga yang terungkap dari hasil penelitian dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu: (a) Peran dalam bidang ekonomi (dilihat dari kegiatan utama responden dalam mencari nafkah); (b) Peran dalam bidang pendidikan (dilihat dari dari enam peran utama dalam melaksanakan ibadah atau membimbing keluarga; menanamkan nilai dan norma; mendorong pendidikan keluarga; mengerjakan kegiatan kerumah-tanggaan; mengasuh anak dan mendampingi anak belajar); (c) Peran dalam perlindungan (dilihat dari 3 kegiatan, yaitu melindungi keluarga, turut memecahkan masalah keluarga, dan turut serta memelihara kesehatan keluarga); (d) Peran dalam kemasyarakatan (dilihat dari 4 kegiatan yakni: mengunjungi keluarga atau tetangga; mengikuti kemasyarakatan; menghadiri rapat dan rekreasi).

Berdasarkan data dan informasi yang terhimpun dapat dikemukakan sebagai berikut: pelaksanaan fungsi ekonomi (pencari nafkah) memperoleh skor 2,79. Peran perlindungan keluarga: skor 2,70, Pemecahan masalah keluarga: skor 2,64. dan skor terendah adalah kegiatan rekreatif yaitu sebesar 1,57. Kenyataan ini merupakan suatu fenomena yang umum terjadi pada keluarga miskin. Rekreasi tidak dijadikan sebagai prioritas. Kegiatan mencari nafkah merupakan kegiatan utama yang masih perlu diperjuangkan demi keberlangsungan hidup keluarga. Angka terendah tersebut diikuti dengan peran mendampingi anak belajar dan mengasuh anak, yang tidak banyak dilakukan oleh responden sebagai kepala keluarga. Keadaan ini merata di keempat tipe wilayah.

Dilihat dari setiap tipe wilayah, nilai terendah di daerah perdesaan adalah peran kegiatan kemasyarakatan (1,44), sedangkan nilai tertinggi adalah peran mencari nafkah (2,88). Data ini dapat dikatakan bahwa keluarga miskin di pedesaan tidak banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Sementara itu nilai terendah di perkotaan adalah peran melaksanakan ibadah (1,43), termasuk di dalamnya kegiatan keagamaan (mendidik anak tentang materi keagamaan, membaca Al-Quran dan sebagainya). Kenyataan ini cukup menarik untuk dikaji, karena bila dibandingkan dengan item yang sama di pedesaan ternyata sangat jauh berbeda, yaitu 2,62. Sebaliknya nilai item mengikuti kegiatan kemasyarakatan di perkotaan justru lebih besar (2,13) dibandingkan di pedesaan.

Di daerah desa pesisir, nilai terendah pelaksanaan peran sosial oleh kepala keluarga adalah melaksanakan kegiatan rekreatif, dan nilai tertinggi adalah item mencari nafkah (2,88). Namun, nilai item melaksanakan ibadah cukup tinggi yaitu 2,78. Keadaan ini sama dengan pelaksanaan peran sosial di wilayah kota pesisir, dimana nilai tertinggi adalah mencari nafkah (2,88) dan terendah adalah melaksanakan kegiatan rekreatif (1,57).

Kapabilitas Dalam Menghadapi Goncangan dan Tekanan

Kapabilitas keluarga miskin dalam menanggapi goncangan dan tekanan (shock and stress) merupakan aspek penting dalam menunjukkan keberfungsian sosial. Secara konseptual aspek ini didasari dari teori coping strategies. Dalam penelitian ini, strategi dimaksud dapat dipilah menjadi dua yakni strategi yang berkaitan dengan ekonomi dan non-ekonomi.

Coping Strategies dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi terdapat 28 cara yang ditempuh oleh kepala keluarga. 28 cara tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yakni:

¨ Strategi aktif, yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk (misalnya melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitar dan sebagainya.

¨ Strategi pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, pendidikan dan sebagainya).
¨ Strategi jaringan, yaitu menjalin relasi, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan (misalnya: meminjam uang tetangga, mengutang ke warung, memanfaatkan program anti kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya).

Coping Strategies dalam mengatasi goncangan dan tekanan non-ekonomi terdapat 12 cara yang ditempuh oleh kepala keluarga. Strategi dimaksud dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yakni:

¨ Strategi aktif, yaitu melakukan berbagai kegiatan untuk memperoleh dukungan emosional (misalnya: lebih giat dalam beribadah, mencari nasihat orang lain)

¨ Strategi pasif yaitu berusaha menghindari resiko yang diakibatkan oleh goncangan non-ekonomi (misalnya mengurangi biaya sosial, kesehatan, pendidikan, dan pasrah kepada keadaan).

¨ Strategi jaringan yaitu menjalin relasi untuk memperoleh bantuan baik secara informal maupun formal dari pihak lain (misalnya: teman, tetangga, sanak keluarga).
Keberfungsian Sosial Matra Kelembagaan
Keberfungsian matra bermatra kelembagaan difokuskan pada tiga aspek (1) efektivitas program anti kemiskinan yang pernah ada di lokasi penelitian, (2) pendamping program (petugas lapangan), dan (3) lembaga penyelenggara program anti kemiskinan yang diharapkan. Penggalian informasi dilakukan dengan Diskusi kelompok terfokus.

Efektivitas Program

Upaya penanggulangan kemiskinan hingga saat ini telah banyak dilakukan, namun kegiatannya tidak selalu memakai istilah kemiskinan, seperti anti kemiskinan, penanggulangan kemiskinan, pemberantasan kemiskinan dan lain sebagainya. Program anti kemiskinan (terutama sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi dan moneter) semakin menggema dan dikenal masyarakat luas, bahkan dicari sebagian masyarakat untuk dapat menikmati program anti kemiskinan. Dari penelitian ini teridentifikasi 33 jenis (nama) program yang telah dilaksanakan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

Dalam kaitannya dengan peningkatan pendapatan keluarga, sebagian besar (80%) peserta diskusi terfokus menyatakan dalam kategori sedang, ini dapat diartikan bahwa program belum dapat meningkatkan pendapatan keluarga secara maksimal. Sedangkan dalam kaitannya dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan 80% peserta diskusi menyatakan dalam kategori rendah. Alasannya adalah “hampir semua program kurang memberikan bimbingan keterampilan yang memadai, bahkan terdapat beberapa program yang tidak mengalokasikan dana untuk kegiatan bimbingan keterampilan karena sesuai dengan sifat bimbingan program yang berorientasi pada pencegahan (resque). Kondisi ini tentunya berkaitan dengan informasi dari diskusi, bahwa kondisi kemandirian penerima bantuan yang masih dalam kategori rendah. Artinya secara umum, program relatif belum dapat menciptakan kemandirian penerima bantuan.

Kisah keberhasilan program pada umumnya ditunjang beberapa faktor yang saling berkaitan, secara umum dapat diidentifikasi sebagai berikut:

¨ Bentuk stimulan sesuai dengan kebutuhan, harapan, kemampuan dan kondisi lokasi penerima bantuan.

¨ Mekanisme kerja kelompok ditetapkan bersama sehingga setiap anggota merasa memiliki dan bertanggung jawab

¨ Pemimpin kelompok yang jujur, terbuka dan amanah serta transparan, sehingga dipercaya anggota kelompok untuk memecahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi.

¨ Petugas atau pendamping program yang memperhatikan pelaksanaan program

¨ Adanya motivasi setiap anggota kelompok untuk mengubah dan meningkatkan taraf kehidupannya.

Kisah ketidakberhasilan program disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan, secara umum dapat diidentifikasi sebagai berikut:

¨ Bantuan yang diterima relatif kurang sesuai.

¨ Pendataan calon penerima pelayanan belum dilakukan secara profesional; mereka tidak tahu kapan dilakukan pendataan, sehingga tidak siap untuk menerima bantuan stimulan tersebut.

¨ Sosialisasi program atau mekanisme bantuan relatif kurang, sehingga mereka kurang siap untuk mengembangkan bantuan modal usaha.

¨ Dilihat dari waktu, instruktur maupun metoda pelatihan ketrampilan praktis kurang memadai.

¨ Tidak ada surat perjanjian akan hak, kewajiban dan sanksi bagi penerima pelayanan, hal ini menjadi titik kritis ketidakberhasilan program usaha ekonomi produktif

¨ Bimbingan dan penyuluhan setelah menerima bantuan modal usaha relatif kurang.

¨ Tidak adanya unit pengaduan bila terjadi sesuatu masalah tidak dapat segera diselesaikan atau bila penerima pelayanan akan konsultasi.

¨ Koordinasi antar pelaksana program (khusus PPK) dan tidak ditunjangnya sarana dan prasarana yang memadai, sehingga membatasi gerak pelaksana dalam menjalankan tugasnya. Kondisi ini lebih diperburuk lagi oleh jangkauan lokasi yang begitu luas yang tidak sebanding dengan sarana dan prasarana yang ada.

Pendamping Program

Pendamping program berasal dari pemerintah dan dari masyarakat. Pendamping dari pemerintah adalah: Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), Penyuluh Lapangan Koperasi, Penyuluh Lapangan Kesehatan, Penyuluh sosial (Pekerja sosial), Penyuluh Lapangan pertanian, Penyuluh Lapangan Peternakan. Sedangkan dari petugas pendamping dari unsur masyarakat terdiri dari: Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Kepala Dusun, Bidan Desa, Guru, LSM.

Pendamping dimaksud adalah orang yang dikenal masyarakat dan sering memberikan bimbingan dan penyuluhan berkaitan dengan masing-masing bidangnya. Dari aspek pengetahuan, pendamping dari KB, Pertanian dan peternakan dinilai dalam kategori baik. Mereka dapat menjelaskan secara baik tentang manfaat, tujuan dan cara-cara yang harus diikuti dalam suatu program yang ditawarkan. Pendamping program dari Petugas sosial, RT, RW, Kepala Dusun dalam kategori sedang, alasannya program yang ditawarkan belum dipahami secara maksimal.

Kriteria pendamping program yang mereka kehendaki adalah:

¨ Mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan program.

¨ Memahami permasalahan-permasalahan yang dialami oleh penerima bantuan.

¨ Mengetahui jenis bantuan yang sesuai dengan kebutuhan.

¨ Tidak merangkap pekerjaan

¨ Warga kelurahan setempat

¨ Usia dewasa muda (minimal 18 tahun).

Sikap dan perilaku pendamping yang diharapkan antara lain:
¨ Bersikap sabar tetapi peka terhadap situasi dan kondisi
¨ Kreatif
¨ Mau mendengar dan tidak mendominasi
¨ Menghargai dan terbuka
¨ Bersikap akrab dan melebur
¨ Tidak menggurui
¨ Berwibawa
¨ Tidak memihak, menilai dan mengkritik
¨ Bersikap positif
¨ Mau belajar dari pengalaman

Kriteria lembaga yang diharapkan untuk menjadi pendamping program antara lain:

¨ Memiliki kantor/sekretariat yang jelas

¨ Memiliki sumber dana yang jelas dan memadai

¨ Memiliki sumberdaya manusia yang memadai

¨ Transparan dalam pertanggungjawaban

¨ Mudah dan cepat dalam memberikan pelayanan (tidak berbelit-belit)

¨ Bermitra dengan organisasi sosial setempat

¨ Hindarkan menggunakan organisasi sosial keagamaan, karena bisa membuat kecemburuan agama yang lain.

Bentuk bantuan yang diharapkan responden bagi responden yang berada di desa/kelurahan pesisir adalah modal usaha yang berupa alat-alat produksi, seperti perahu, mesin pengukur kelapa, jaring penangkap ikan, sedangkan di tipe desa dan kota lebih menginginkan usaha ternak seperti domba, sapi, ayam dan lain sebagainya, tetapi yang sesuai dengan kondisi lingkungannya. Sementara responden yang berada di kota lebih menghendaki bantuan modal dalam bentuk uang. Namun responden menyarankan agar sebelum menerima bantuan usaha ekonomi produktif diberikan ketrampilan praktis agar dapat mengelola dan mengembangkan bantuan dengan baik.


III. PENUTUP
Nama Program: Pemandirian Masyarakat Miskin Terpadu (PEMANDU)
Tujuan Program PEMANDU

¨ Meningkatkan pendapatan keluarga fakir miskin ke atas garis fakir miskin

¨ Meningkatkan pendapatan keluarga fakir miskin ke atas GFM

¨ Memberikan perlindungan kepada anak-anak keluarga fakir miskin untuk dapat menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun.

¨ Memberikan perlindungan tingkat kesehatan keluarga fakir miskin untuk dapat menjalankan keberfungsian sosial secara normal.

¨ Meningkatkan komitmen Pemerintah Daerah dalam pengentasan Kemiskinan
Visi dan Misi PEMANDU

Visi : Terwujudnya kemandirian masyarakat miskin untuk mengatasi kemiskinannya secara berkelanjutan.

Misi : Pemenuhan kebutuhan dasar melalui (1) penguatan economic capital, dan human capital (capacity building) keluarga miskin (2) bantuan biaya pendidikan dan (3) bantuan perlindungan kesehatan.
Prinsip PEMANDU

- Operasionalisasi PEMANDU menggunakan prinsip-prinsip: Pemberdayaan; penyadaran, penguatan kapasitas, pembentukan jaringan kerja sasaran pelayanan secara partisipatif dengan menjunjung tinggi keadilan, kejujuran dan kesederhanaan yang menghargai kepemilikan komunitas lokal.

- Kemitraan; semua pihak yang terlibat dalam program termasuk pemerintah daerah dan kelompok sasaran sebagai “mitra”, yang secara bahu membahu bekerja sama dalam satu tujuan untuk memerangi kemiskinan.

- Akuntabilitas; setiap kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan kepada masyarakat.

- Keberlanjutan; program ini akan direplikasikan di wilayah-wilayah lain secara bersinambungan, untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Sasaran

Sasaran utama adalah fakir miskin yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

¨ Belum memiliki pekerjaan atau telah memiliki pekerjaan tetapi tidak menentu (serabutan).

¨ Pendapatan keluarga < Rp.308.310,- (untuk tipe pedesaan, perkotaan, desa pesisir), dan < Rp. 450.000,- perbulan untuk kota pesisir.

¨ Keterbatasan keterampilan.

¨ Keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan (tidak tamat pendidikan dasar 9 tahun) dan kesehatan (gizi rendah atau daya tahan tubuh rendah)

¨ Keterbatasan tempat tinggal (perumahan) :

Ø Status menumpang pada orang lain;

Ø Status mengontrak atau sewa;

Ø Milik sendiri tetapi kurang layak huni (seperti luas kurang dari 40 m2, tidak permanen, kurang ventilasi dan pencahayaan).

Ø Rumah yang ditempati tidak memiliki Sarana Air Bersih, Mandi Cuci dan Kakus (MCK) dan Saluran Pembuangan Air Limbah.

Ø Keterbatasan hubungan sosial dan jaringan, baik dengan keluarga, lingkungan kerabat, lingkungan adat, kelompok, organisasi lokal dan pihak lain.

Sasaran Pendamping lokal adalah warga setempat dengan kriteria:

¨ Usia minimal 18 tahun

¨ Pendidikan minimal SLTA

¨ Sedang menjabat (pengurus) LPM/LKMD sekurang-kurangnya 2 tahun dan menjadi panutan masyarakat

¨ Memiliki kepedulian terhadap fakir miskin

Sasaran Pendamping Pemerintah Daerah adalah organisasi perangkat daerah yang memiliki fungsi perencanaan dan pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi program pengentasan kemiskinan.
Strategi PEMANDU

Guna mencapai visi dan melaksanakan misi diatas, PEMANDU menggunakan beberapa strategi :

Pengembangan Masyarakat

Keluarga binaan (KABIN) yang tersebar disetiap pelosok wilayah diorganisir dan dikembangkan dalam bentuk kelompok, sehingga diperoleh kemudahan di dalam upaya pendampingannya.

Penguatan Organisasi

LPM/LKMD dan atau organisasi sosial lainnya dalam posisinya sebagai potensi dan sumber kesejahteraan sosial pada dasarnya merupakan aset sosial yang strategis karena berperan sebagai pilar partisipasi masyarakat, diperkuat dalam bidang manajemen organisasi maupun kemampuan profesional di dalam mengatasi permasalahan sosial kemiskinan di wilayahnya.

Perguliran dan Penciptaan Lapangan Kerja.

Penyaluran dana hibah dimaksudkan hanya sebagai faktor pemicu (trigger factor) bagi penggalian dan pengembangan keswadayaan masyarakat, serta bagi terwujudnya upaya-upaya mobilisasi dana dari donatur lainnya. Dana hibah tersebut diharapkan menjadi dana bergulir diantara KABIN.

Advokasi terhadap Kelompok Keluarga Binaan (KEKABIN)

LPM/ LKMD sebagai wadah pembinaan masyarakat miskin dipersiapkan untuk berkomitmen terhadap upaya-upaya pemihakan terhadap orang-orang miskin yang ada di wilayahnya.

Kemitraan dan Jaringan

KEKABIN yang dibentuk dari KABIN tidak akan maju dan berkembang tanpa adanya dukungan dari lingkungan sekitarnya baik individual maupun kolektif. Oleh karena itu brokering atau fasilitasi pembentukan jaringan usaha dan kemitraan menjadi strategi penting.
Lingkup Program

Program Langsung

¨ Pemberian bantuan modal usaha

¨ Latihan keterampilan

¨ Perlindungan pendidikan

¨ Perlindungan kesehatan

Program Tak Langsung

Program tidak langsung dilakukan untuk mendukung program di atas melalui Zona Bebas Fakir Miskin (ZBFM) yaitu (1) diseminasi program (2) penguatan kapasitas komite (3) kampanye anti kemiskinan dam (4) advokasi kebijakan penanggulangan kemiskinan daerah.
Indikator Keberhasilan

Indikator keberhasilan KEKABIN mencakup 2 aspek yaitu :

¨ Aspek ekonomi, tersedianya lapangan pekerjaan bagi keluarga fakir miskin dan meningkatnya penghasilan per kapita dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun dengan tambahan penghasilan sebesar Rp. 445.730,- per bulan, dan telah dapat menggulirkan bantuan modal usaha.

¨ Aspek Sosial, dapat terpenuhinya kebutuhan akan :

Ø Pelayanan sosial pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anak dari keluarga miskin binaan yang menjadi anggota kelompok usaha bersama (KUBE) yang ditandai dengan kepemilikan ijazah baik dari sekolah formal maupun dari pendidikan luar sekolah (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat /PKBM).

Ø Perlindungan bagi seluruh anggota Kabin yang ditandai dengan akses terhadap pelayanan kesehatan dan kondisi kesehatan yang semakin baik.

Indikator keberhasilan pendampingan LPM/ LKMD mencakup dua hal,

¨ Kembalinya 75% dana bantuan selama 50 bulan

¨ Terkelolanya secara baik, akuntabel dan transparan dana bantuan oleh kelompok pengelola dana Bantuan (KPDB)

¨ berkembangnya dana KPDB melalui pengembangan usaha masyarakat.

Indikator keberhasilan pendampingan LPM/ LKMD mencakup tiga hal,

¨ Optimalisasi fungsi KPK daerah dalam monitoring dan evaluasi program Pemandu

¨ Teralokasinya anggaran Pemerintah daerah yang mendukung program Pemandu

¨ Terumuskannya peraturan/keputusan dalam mendukung program Zona Bebas miskin

Prakiraan Pembiayaan

Mengacu pada program yang direkomendasikan diatas, maka biaya yang diperlukan untuk mengentaskan fakir miskin adalah sebagai berikut:

Biaya Bantuan Langsung

Biaya bantuan langsung berupa bantuan modal usaha, bantuan perlindungan pendidikan dan bantuan perlindungan biaya kesehatan.

Bantuan modal usaha diberikan dalam bentuk pinjaman tanpa bunga yang ditunjang dengan latihan keterampilan praktis. Bentuk usaha tergantung pada pilihan Kabin.

Bantuan perlindungan pendidikan ditujukan untuk melindungi anak - anak Kabin agar dapat menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Bentuk bantuan berupa biaya pendidikan dan hanya difokuskan pada bantuan regristasi, bantuan buku; dan bantuan baju seragam.

Bantuan Kesehatan ditujukan kepada seluruh anggota keluarga untuk menjamin dan melindungi kesehatannya, sehingga tidak mengganggu modal usaha yang sedang dijalankan. Bantuan kesehatan meliputi jaminan pelayanan kesehatan dan bantuan peningkatan gizi keluarga.

Besar bantuan yang diperlukan.

¨ Bantuan minimal untuk keluar dari GFM yang diperlukan dihitung dari selisih GFM (Rp.460/960,-) dengan pengeluaran (Rp.308.310,-) yakni sebesar Rp.152.650. Menurut hasil penelitian Carter and Jones-Evans (2000), dalam keadaan normal keuntungan usaha kecil sebesar 15%., maka untuk dapat menghasilkan Rp.150.000,- dibutuhkan modal usaha Rp, 1.000.000,- (diberikan sekali)

¨ Bantuan perlindungan pendidikan dan kesehatan selama 5 tahun sebesar: (5 jiwa x Rp.595.000,-) = Rp. 2.975.000,-

¨ Jika diprediksi jumlah FM sebesar 15.589.733 jiwa dan setiap KK mempunyai 5 jiwa, maka sasaran PEMANDU berjumlah 3.117.947 KK. Dengan demikian besar bantuan langsung yang diberikan adalah 3.117.947 jiwa x Rp. 3.975.000,-= Rp.12.393.837.735.000,-

Biaya Bantuan Tidak Langsung

Biaya tidak langsung dipergunakan untuk mendukung program diatas melalui gerakan Zona Bebas Fakir Miskin (ZBFM) yaitu (1) diseminasi program, (2) pembentukan komite (3) kampanye anti kemiskinan dan advokasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di daerah. Alokasi biaya sebesar 10% dari biaya langsung yakni = Rp.1.239.383.773.500,- selama lima tahun.

Biaya Managemen, Konsultan dan Pendampingan

Biaya managemen, konsultan dan pendampingan sebesar 40% dari jumlah bantuan langsung = Rp.4.957.535.094.000,- ditambah pajak biaya manajemen (15% x Rp.4.957.535.094.000,-) = Rp.743.630.264.100,-maka jumlah biaya manajemen konsultan pendamping sebesar Rp.5.701.165.538.100,-

Total biaya yang dibutuhkan untuk terselenggaranya program PEMANDU sebesar: Rp. 19.339.386.866.600,-

Indeks biaya pemandu per jiwa fakir miskin sebesar Rp.1.240.200,- per jiwa atau Rp.6.201.000,- per kepala keluarga.

Prakiraan Waktu Yang Dibutuhkan

Waktu yang dibutuhkan untuk mengentaskan fakir miskin dapat dijelaskan sebagai berikut:

¨ Bantuan modal sebesar Rp.1000.000,- dapat memberikan keuntungan tambahan sebesar Rp.150.000,- per bulan. Keuntungan dialokasikan untuk angsuran Rp.20.000,- per bulan dan sisanya untuk penambahan modal (30%) dan 70% untuk kebutuhan lainnya.

¨ Dikaitkan dengan hasil penelitian, bahwa pengeluaran fakir miskin sebesar Rp.386.570,- dan angka GFM sebesar Rp.460.960,- maka dalam waktu 6 bulan akan dapat mencapai diatas GFM (Rp.495.089,-)

¨ untuk menjadi keluarga berkembang (pendapatan rata-rata Rp.939.677 – Rp.1382.880,-) dibutuhkan waktu minimal 43 bulan dan untuk mencapai keluarga maju (pendapatan minimal Rp Rp.1382.880,-) dibutuhkan waktu 56 bulan.

Sebagai penutup perlu ditekankan, bahwa asumsi utama perancangan model ini adalah Ceteris paribus, yakni segala sesuatu di luar yang diformulasikan dianggap konstan. Oleh karena itu sangat disadari, bahwa model PEMANDU, khususnya yang menyangkut prediksi waktu dan biaya penanganan kemiskinan terkesan menyederhanakan masalah (reduksionisme).

0 komentar: