Senin, 01 Maret 2010

PELAYANAN PUBLIK BERPERSPEKTIF DIFABEL

Satu persatu pintu globalisasi telah mulai terbuka diawali dengan AFTA 2003, disusul APEC 2010 hingga WTO 2020. Era globalisasi telah dimulai , segala aspek dan dampaknya mau tidak mau harus kita rasakan. Dengan kondisi krisis multidimensi di negara kita yang tak jua kunjung berakhir nampaknya akan semakin menyulitkan kita khususnya difabel untuk mampu mengambil peran penting dalam pasar bebas.

PELAYANAN PUBLIK BERPERSPEKTIF DIFABEL DALAM MEWUJUDKAN REHABILITASI BERSUMBERDAYA MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN MARTABAT DAN KEADILAN

A. Latar Belakang

Satu persatu pintu globalisasi telah mulai terbuka diawali dengan AFTA 2003, disusul APEC 2010 hingga WTO 2020. Era globalisasi telah dimulai , segala aspek dan dampaknya mau tidak mau harus kita rasakan. Dengan kondisi krisis multidimensi di negara kita yang tak jua kunjung berakhir nampaknya akan semakin menyulitkan kita khususnya difabel untuk mampu mengambil peran penting dalam pasar bebas. Namun demikian pasar bebas akan menjadi peluang besar jika kita mampu menyiapkan diri dengan baik. Beny Soetrisno direktur PT. Apac Inti Corpora menyatakan bahwa sumber daya manusia (SDM) merupakan asset yang sangat penting dalam upaya meningkatkan daya saing dan kunci dalam memenangkan persaingan usaha yang semakin ketat seiring dengan liberalisasi ekonomi. Kenyataan ini menuntut suatu program pembinaan SDM yang komprehensif dan holistic (GRIPAC).

Prevalensi jumlah difabel menurut data BPS dari berbagai jenis kekhususan sekitar 0,7% dari jumlah penduduk Indonesia (1,48 juta jiwa) dan 317.016 anak (21,42 %) adalah anak usia sekolah (5-18Th). Data Dit. PSLB akhir 2007 ABK yang sudah tertampung di Sekolah Khusus (SLB) dan Sekolah Inklusif sebesar 96.408 (30.4%), sementara 220.608 (69.6%) belum mendapat layanan pendidikan. Diskriminasi terhadap difabel dalam kesempatan bekerja terutama di sektor birokrasi pemerintah dan layanan publik masih cukup besar. Undang-Undang No. 4/1997 tentang Difabel menegaskan adanya persamaan kesempatan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Namun praktiknya dalam seleksi pegawai negeri, dipasang syarat sehat fisik dan mental. Hal lain yang mempersempit kesempatan difabel meningkatkan kualitas hidupnya adalah fasilitas-fasilitas publik belum mengakomodasi kepentingan difabel. Di Surabaya terdapat sejumlah 1.276 difabel yang belum mendapatkan akses layanan publik yang dibangun pemerintah sehingga mobilitas mereka terbatas. Pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik punya tugas untuk memberikan aksesibilitas kepada mereka. Jika itu dilaksanakan oleh swasta, maka tetap saja di bawah kontrol negara. “Semua fasilitas publik belum friendly dengan difabel. Trotoar, gedung, kendaraan umum, pasar, kereta api dan pelayanan publik lain belum begitu friendly dengan difabel”. Aksesibilitas itu penting disediakan pemerintah, yakni akses terhadap lingkungan fisik baik di perumahan, bangunan, pelayanan transportasi, jalan raya dan lingkungan luar ruangan. Akses juga mesti terbuka bagi orang tua difabel agar mereka mendapatkan informasi lengkap tentang diagnosis, hak-hak, pelayanan dan program-program yang tersedia (Dewi,2008).

Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 juga dijelaskan bahwa rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial difabel agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman. Gautama dkk (1995), mengemukakan berbagai kelemahan dari rehabilitasi berbasiskan lembaga sebagai berikut : (1) Kedudukan lembaga yang jauh dari lingkungan keluarga orang cacat mensyaratkan transportasi mahal sehingga menghalangi kontak dengan keluarga, terutama keluarga miskin, (2) Manfaat positif solidaritas kelompok sebaya hilang setelah anak meninggalkan sekolah kediamannya, sementara kontak dengan masyarakat tidak dapat dilakukan, (3) Standar kehidupan material bagi anak-anak cacat sering lebih tinggi dari keluarga dan masyarakat, (4) Metode komunikasi untuk anak-anak tuna netra dan tuna rungu tidak dipelajari oleh keluarga atau masyarakat, (5) Anak-anak cacat belum mempelajari pentingnya kehidupan dan keterampilan sosial berdasarkan cara tradisional masyarakatnya. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa untuk mengatasi kendala tersebut, diperlukan pendekatan berbasiskan masyarakat yang dapat melibatkan profesional, difabel, keluarga dan masyarakat. Sesuai dengan tema yang diusung KNKS V dan Munas VI di Bandung yaitu ”Membangun Gerakan Kesejahteraan Social Berbasis Masyarakat”

B. Pembahasan

1. Pemberdayaan partisipatif
Pemberdayaan dan partisipasi merupakan hal yang menjadi pusat perhatian dalam proses pembangunan belakangan ini di berbagai negara. Kemiskinan yang terus melanda dan menggerus kehidupan umat manusia akibat resesi internasional yang terus bergulir dan proses restrukturisasi, agen-agen nasional-internasional, serta negara-negara setempat menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap partisipasi masyarakat sebagai sarana pencepatan proses pembangunan. Karena itu, perlu ditekankan peningkatan tentang pentingnya pendekatan alternatif berupa pendekatan pembangunan yang diawali oleh proses pemberdayaan masyarakat lokal (Craig dan Mayo, 1995). Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini, pada akhirnya, akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Dalam hal ini cara terbaik untuk mengatasi masalah pembangunan adalah membiarkan semangat wiraswasta tumbuh dalam kehidupan masyarakat, berani mengambil resiko, berani bersaing, menumbuhkan semangat untuk bersaing, dan menemukan hal-hal baru (inovasi) melalui partisipasi masyarakat. Strategi pembangunan meletakkan partisipasi masyarakat sebagai fokus isu sentral pembangunan saat ini. Partisipasi masyarakat di negara- negara dunia ketiga merupakan strategi efektif untuk mengatasi masalah urbanisasi dan industrialisasi (Craig dan Mayo, 1995).

Sementara itu, strategi pemberdayaan meletakkan partisipasi aktif
masyarakat ke dalam efektivitas, efisiensi dan sikap kemandirian. Secara khusus, pemberdayaan dilaksanakan melalui kegiatan kerja sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber dari pemerintah, tetapi LSM, termasuk organisasi dan pergerakkan masyarakat (Clarke, 1991). Brudtland menyimpulkan bahwa jaminan pembangunan berkelanjutan adalah partisipasi masyarakat (Craig dan Mayo, 1995). Clarke menyatakan bahwa partisipasi masyarakat melalui LSM, saat ini, merupakan kunci partisipasi efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dengan cara ini, masyarakat kecil (kelompok grassroot) dapat memperoleh keadilan, hak azasi manusia, dan demokrasi.

2. Martabat dan Keadilan Difabel
Dinas sosial telah melaksanakan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat, tahun 2005 kepada 37.910 penyandang cacat dengan prioritas kegiatan pada rehabilitasi berbasis masyarakat, tahun 2006 dilaksanakan kegiatan yang sama dengan 28.670 penyandang cacat, tahun 2007 sebanyak 66.580 jiwa. BK3S Propinsi Jawa Timur Bekerja sama dengan Dinas Sosial telah melaksanakan pendampingan pada difabel dari Malang, Probolinggo, Tulung Agung pada tahun 2008 dengan materi menjahit. Berdasarkan hasil monitoring di lapangan para difabel telah mengaplikasikan hasil keterampilannya untuk membuka usaha membuat suvenir, tas, mukena, baju dan menerima order pesanan dari Bali. Hasil karya para difabelmemiliki kualitas bagus dan layak untuk dipasarkan. Kendala yang dihadapi pada umumnya kesulitan mencari order dan bahan baku oleh karena keterbatasan akses. Pendampingan kelompok difabel Kota Malang yang tergabung dalam HWPCI memiliki diversifikasi usaha selain menjahit membuka warung dan toko kelontong yang mendapatkan bantuan sewa tempat dari program kerjasama dengan Unibraw. Oleh karena lokasi kurang strategis maka konsumen tidak terlalu rame. Kondisi ini mengisaratkan peran K3S untuk menjembatani pemasaran dan akses order sebagai bentuk pembinaan agar usaha mikro yang digalang dapat berkelanjutan. Di samping faktor disiplin para pengelola juga mempengaruhi keberhasilan usaha.

Martabat dan keadilan seorang difabel dalam memperjuangkan kemandirian melalui life skill yang dimiliki. Ahmad Yani menceritakan pengalamannya sejak kecil. Bertumbuh sebagai seorang anak cacat punya beban. Namun dia mendapatkan kekuatan dari orang tuanya agar dia tidak putus asa. Dia punya kesempatan seperti anak-anak lainnya. Kakinya yang cacat – karenanya harus menggunakan tongkat kayu – bukan halangan.

“Orang tua dukung saya, padahal saya malu. Orang tua saya bertanggung jawab. Dia pikul saya ke sekolah. Di kelas III saya sudah punya kemauan. Setelah tamat sekolah dasar, saya minta agar saya lanjutkan ke sekolah menengah pertama. Ayah saya setuju. Kemudian saya ke sekolah menengah atas. Setelah tamat, saya bilang saya sudah tamat. Bagaimana. Orang tua saya tidak mampu,” katanya.
“Saya pusing, mau bagaimana saya sekarang. Ke mana saya lari.” Ketika itu ada program transmigrasi ke Kalimantan. Yani ikut ke sana. Ada harapan. Di sana ternyata para transmigran ini bekerja di perkebunan dengan topografi berbukit. Yani kesulitan. Dia minta tangani tanaman di daerah dataran saja. “Saya berjuang dan saya selalu yakinkan diri bahwa saya bisa”.

Yani kembali ke Flores. Kemudian ia ke Bima, Nusa Tenggara Barat. Di Bima ia bekerja di Percetakan yang disediakan bagi anak-anak cacat. Kembali ke Ende. Pemerintah Kabupaten Ende mengirimnya ke Ujung Pandang (Makasar) Sulawesi Selatan (1992-1994) untuk belajar menjahit. Kembali dari sana, ia mendirikan usaha jahit. Usahanya itu bisa hidupkan diri dan keluarganya. Dia bisa bangun rumah walau belum selesai. Dia tidak setuju orang cacat menerima uang dari pemerintah untuk membiayai hidup mereka. Ada kategori cacat yang memang tidak bisa kerja sama sekali sehingga negara bisa memberikan santunan. Tapi dia bilang, pendekatan membagi-gai uang seperti itu hanya merugikan uang negara. “Beri kami pelatihan dan bantuan modal. Saya bisa bina teman-teman. Saya sudah rasakan. Kalau saya tidak sekolah, saya tidak tahu lagi. Mungkin saya pilih remah-remah nasi,” katanya.

C. Kesimpulan

1. Pelayanan publik sudah saatnya berprespektif kecacatan, membangun kesadaran publik tentang kepentingan orang cacat, membuka luas kesempatan, pendidikan, dan pelatihan bagi orang cacat, dan mengikutsertakan penyandang cacat sebagai pengontrol pelayanan publik.

2. Martabat dan keadilan akan dapat ditegakkan apabila terbentuk organisasi yang kuat dan tertata dari kaum difabel

3. Rehabilitasi penyandang cacat ini mesti terintegrasi dengan masyarakat dengan membangun kapasitas masyarakat agar mereka bisa menyelesaikan dan menangani lebih baik.

4. Partisipasi merupakan komponen penting dalam memperjuangkan kemandirian melalui pemberdayaan para difabel

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Artikel ini merefleksikan realitas kondisi difabel/penyandang cacat di Indonesia.

Kebetulan sy bekerja di bidang kecacatan dan kesehatan masyarakat sejak 1998. Apabila berminat bekerjasama dalam program penyediaan kursi roda adaptif dan training spesialis kuris roda silahkan kontak di :
Risnawati Utami
UCP Roda Untuk Kemanusiaan
telp. 0274 55231
email: risnau@ucpruk.org atau di risnautami@gmail.com