Rabu, 10 Maret 2010

PENELITIAN MODEL PEMBERDAYAAN KELUARGA DALAM MENCEGAH TINDAK TUNA SOSIAL OLEH REMAJA DI PERKOTAAN

I. PENDAHULUAN

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembangnya remaja. Dengan kata lain, secara ideal perkembangan remaja akan optimal apabila mereka bersama keluarganya. Tentu saja keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang harmonis, sehingga remaja memperoleh berbagai jenis kebutuhan, seperti kebutuhan fisik-organis, sosial maupun psiko-sosial.

Uraian tersebut merupakan gambaran ideal sebuah keluarga. Pada kenyataannya, tidak semua keluarga dapat memenuhi gambaran ideal tersebut. Perubahan sosial, ekonomi dan budaya dewasa ini telah banyak memberikan hasil yang menggembirakan dan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian pada waktu bersamaan, perubahan-perubahan tersebut membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi keluarga. Misalnya Adanya gejala perubahan cara hidup dan pola hubungan dalam keluarga karena berpisahnya suami/ibu dengan anak dalam waktu yang lama setiap harinya. Kondisi yang demikian ini menyebabkan komunikasi dan interaksi antara sesama anggota keluarga menjadi kurang intens. Hubungan kekeluargaan yang semula kuat dan erat, cenderung longgar dan rapuh . Ambisi karier dan materi yang tidak terkendali, telah mengganggu hubungan interpersonal dalam keluarga.

Dalam kaitannya dengan permasalahan remaja, rintangan perkembangan remaja menuju kedewasaan itu ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi anak diwaktu kecil di lingkungan rumah tangga dan lingkungan masyarakat, dimana anak itu hidup dan berkembang. Jika seseorang individu dimasa kanak-kanak banyak mengalami rintangan hidup dan kegagalan, maka frustrasi dan konflik yang pernah dialaminya dulu itu merupakan penyebab utama timbulnya kelainan-kelainan tingkah laku seperti kenakalan remaja, kegagalan penyesuaian diri dan kelakuan kejahatan. Ekspresi meningkatnya emosi ini dapat berupa sikap bingung, agresivitas yang meningkat dan rasa superior yang terkadang dikompensasikan dalam bentuk tindakan yang negatif seperti pasif dalam segala hal, apatis, agresif secara fisik dan verbal, menarik diri, dan melarikan diri dari realita ke minuman alkohol, ganja atau narkoba, dan lain-lain.

Dewasa ini permasalahan remaja masih cukup menonjol, baik kualitas maupun kuantitasnya. Tidak kurang Presiden RI, Megawati Soekarno Putri, mengkhawatirkan kondisi remaja pada saat ini. Dikemukakan bahwa berbagai fenomena kegagalan sekarang ini antara lain disebabkan pembinaan keluarga yang gagal. Lebih jauh dijelaskan bahwa dari 15.000 kasus narkoba selama dua tahun terakhir, 46 % di antaranya dilakukan oleh remaja (Media Indonesia, 30 Juni, hal; 16). Selain itu di Indonesia diperkirakan bahwa jumlah prostitusi anak juga cukup besar. Departemen Sosial memberikan estimasi bahwa jumlah prostitusi anak yang berusia 15-20 tahun sebanyak 60 % dari 71.281 orang. Unicef Indonesia menyebut angka 30 % dari 40-150.000; dan Irwanto menyebut angka 87.000 pelacur anak atau 50% dari total penjaja seks (Sri Wahyuningsih, 2003).

Menyadari bahwa di satu sisi keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dan utama bagi tumbuh kembang remaja, pada sisi lain remaja merupakan potensi dan sumber daya manusia pembangunan di masa depan, maka diperlukan program yang terencana. Program terencana dimaksud akan dapat dicapai, apabila tersedia data dan informasi yang obyektif dan aktual tentang permasalahan keluarga maupun remaja. Dalam kerangka itu, maka diperlukan penelitian.

Dalam upaya memperoleh data dan informasi yang obyektif, ada sejumlah pertanyaan dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimana pelaksanaan fungsi keluarga?, (2) bagaimana pandangan keluarga tentang kenakalan remaja?, (3) bagaimana kondisi kehidupan sosial remaja?, (4) bagaimana pandangan remaja tentang pola asuh dalam keluarga dan kenakalan remaja?, dan (5) program apa saja yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun Organisasi Sosial dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pemberdayaan keluarga dan remaja? Sejumlah pertanyaan penelitian tersebut kemudian menjadi landasan perumusan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode ini digunakan dalam upaya mendeskripsikan pelaksanaan fungsi keluarga, dan implikasinya terhadap kehidupan sosial remaja serta upaya pencegahan dan penanganannya, baik dalam keluarga, oleh pemerintah maupun Organisasi Sosial dan atau Lembaga Swadaya Masyarakat lokal (Irawan Soehartono, 1995).

Penelitian dilaksanakan di tujuh kota, yaitu Medan, DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Sulawesi Selatan dan Pontianak. Ketujuh kota tersebut dipilih secara purposive dengan alasan bahwa angka kenakalan remaja cukup signifikan. Adapun yang menjadi sampel yaitu (a) keluarga (orang tua) yang memiliki anak remaja (usia 13 – 18 tahun) yang berpotensi berperilaku tuna sosial (nakal), dalam wilayah kota, dan (b) remaja usia 13-18 tahun yang berpotensi berperilaku tuna sosial (nakal), dalam wilayah kota, melakukan aktivitas sosial maupun ekonomis di pusat-pusat kegiatan ekonomis maupun sosial. Penentuan “berpotensi berperilaku tuna sosial” berdasarkan pemantauan LSM setempat.

Penentuan sample dengan teknik snow ball, mengingat belum tersedianya data yang memadai untuk dua kategori populasi tersebut (Irawan Soehartono, 1995). Mekanisme kerja dari penggunaan teknik ini, pertama peneliti menemukan seorang responden dan dari responden pertama tersebut diperoleh responden kedua dan seterusnya, hingga tercapai jumlah responden sebanyak yang ditentukan. Penentuan sampel penelitian ini di lapangan banyak dibantu oleh Organisasi Sosial atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki program pemberdayaan keluarga dan remaja di perkotaan. Untuk responden orang tua (keluarga) pada masing-masing kota adalah 30 orang, dan responden remaja (13–18 tahun) sebanyak 30 orang. Kemudian penentuan sampel Orsos/LSM secara purposive dengan kriteria, LSM yang memiliki program pemberdayaan keluarga dan remaja di perkotaan serta telah operasional minimal dua tahun, masing-masing lokasi sebanyak 3 Orsos/LSM. Selanjutnya informan instansi pemerintah masing-masing propinsi 2 instansi. Total responden sebanyak 455 orang.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi, wawancara terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan, dan pengamatan pada kondisi atau lingkungan tempat tinggal responden. Selanjutnya data dan informasi yang sudah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif. Sebuah analisis dalam bentuk naratif dan didukung dengan angka dalam bentuk persentase.



II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini lokasi dibedakan menjadi dua, yaitu pertama, lokasi berlangsungnya proses penggalian data dengan responden remaja dan kedua, untuk responden orang tua atau keluarga. Untuk lokasi responden remaja, peneliti melacak tempat-tempat yang biasa dikunjungi remaja berdasarkan informasi dari berbagai sumber (media cetak, elektronik maupun LSM lokal). Dari penelitian ini diperoleh 12 jenis lokasi dari tujuh kota besar, yaitu plaza dan mall, diskotik, cafe, rumah makan, pertokoan dan pasar, sekitar TMP, pinggir jalan raya, pantai, taman kota dan alun-alun, stasiun KA dan terminal, kompleks hotel dan bioskop.

Pada umumnya para remaja mengunjungi plaza, mall, diskotik, cafe, pantai dan bioskop. Tempat-tempat tersebut memberikan pemenuhan kebutuhan sosial maupun psiko-sosial bagi remaja tersebut. Setelah melakukan aktivitas (bekerja atau sekolah) remaja mengunjungi tempat-tempat tersebut untuk melepaskan beban psikisnya bersama teman-temannya. Berbeda dengan jenis tempat sebelumnya, rumah makan, pertokoan dan pasar, stasiun KA dan terminal serta pinggiran jalan raya merupakan tempat-tempat yang pada umumnya memberikan pemenuhan kebutuhan sosial maupun ekonomis. Pada umumnya di tempat-tempat ini para remaja melakukan aktivitas ekonomis seperti menjadi tukang parkir, semir sepatu, pedagang asongan, dan pengamen. Meskipun demikian, sebagian remaja wanita ada yang memperoleh pemenuhan kebutuhan ekonomis di tempat-tempat seperti diskotik, cafe, kompleks hotel, bioskop dan pantai, antara lain sebagai penjaja seks. Sebagian yang lain minum minuman keras dan menggunakan narkotika. Begitu juga pada sebagian remaja laki-laki, tempat-tempat tersebut untuk melakukan tingkah laku tuna sosial seperti minum minuman keras, menggunakan narkotika dan melakukan transaksi seksual. Sebagian dari remaja laki-laki maupun perempuan ada yang pulang semaunya. Sebagian yang lain, bahkan jarang sekali pulang. Mereka hidup di jalanan, emperan pertokoan, plaza dan mall atau di stasiun KA dan terminal bus, yang sudah layaknya seperti rumah bagi mereka.

Kemudian untuk menemukan responden orang tua, peneliti melacak dari responden remaja. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa populasi dan sampling untuk remaja maupun orang tua (keluarga) adalah mereka yang berdomisili di wilayah Kota. Karena itu pada saat penjangkauan di lapangan, terjadi proses seleksi, dimana remaja yang tinggal di luar Kota tidak diambil sebagai responden penelitian. Dengan bantuan LSM setempat melalui teknik snow ball, akhirnya dapat diperoleh responden remaja dan orang tuanya yang berdomisili di 3 - 4 wilayah kecamatan dalam satu Kota.
Identitas Responden

Responden Keluarga

Kriteria keluarga yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anak remaja atau pada usia 13-18 tahun. Sebagian besar responden berdomisili di daerah yang dekat pusat kegiatan ekonomi maupun sosial warga kota. Dilihat dari sisi umur, pada umumnya responden secara ekonomis termasuk ke dalam kelompok produktif, yaitu berkisar 40 - 55 tahun.

Kemudian dilihat dari tingkat pendidikan formal, sebanyak 66,67% ayah memiliki tingkat pendidikan SLTA dan AK/PT. Data ini menggambarkan, bahwa tingkat pendidikan ayah yang terjangkau dalam penelitian ini dapat dikatakan kategori tinggi. Sedangkan tingkat pendidikan ibu, sebanyak 60% pada jenjang pendidikan SLTP dan SLTA atau dapat dikatakan pada kategori sedang.

Dilihat dari jenis pekerjaan, jenis pekerjaan ayah yaitu pemulung, buruh, dagang, swasta, TNI/POLRI dan tidak bekerja. Dari jenis-jenis pekerjaan tersebut, persentase tertinggi pada jenis pekerjaan swasta (40 %). Sedangkan jenis pekerjaan ibu, yaitu buruh, dagang, swasta dan tidak bekerja. Dari jenis-jenis pekerjaan tersebut, persentase tertinggi tidak bekerja (56.67 %).

Kemudian dilihat dari besarnya penghasilan, sebanyak 33% berpenghasilan kurang dari Rp. 500.000, sebanyak 50 % berpenghasilan antara Rp. 500.000 – Rp.1.000.000 dan sebanyak 17% berpenghasilan di atas Rp. 1.000.000.

Selanjutnya, dilihat dari lingkungan tempat tinggal sebanyak 66.67% keluarga menempati perumahan dan perkampungan, atau tempat tinggal yang relatif lebih baik. Sementara itu sebanyak 33.33% atau sepertiga responden tinggal di lingkungan kumuh. Dari keseluruhan rensponden, sebanyak 66,67% sudah menempati sendiri, meskipun di antara rumah itu dalam kondisi darurat.

Responden Remaja

Responden remaja menurut pendidikan, persentase tertinggi pada jenjang pendidikan SLTP (sebanyak 43.33%), SLTA sebanyak 36,67%, SD sebanyak 16.67%, SD sebanyak 16.67% dan tidak tamat SD sebanyak 3.33%. Dari jumlah responden seluruhnya, yang masih sekolah (SLTP dan SLTA) sebanyak 56.67%.

Sebagian besar responden tinggal bersama orang tua (83,33%) kemudian numpang dengan orang lain (13,33%) diantaranya adalah tinggal dengan nenek, dengan saudara sepupu dan dengan kakak, hanya 3,33% responden yang menyatakan ngontrak.
Pelaksanaan Fungsi Keluarga
Fungsi Ekonomis

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa salah satu fungsi keluarga adalah memenuhi kebutuhan nafkah atau ekonomi anggota keluarganya. Kebutuhan ekonomi ini seringkali dioperasionalkan ke dalam kebutuhan sosial dasar, seperti kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa tidak semua keluarga mampu memenuhi kebutuhan ekonomi anggotanya disebabkan oleh berbagai faktor.

Dalam upaya keluar dari masalah, keluarga mengembangkan suatu strategi atau coping strategy dari kondisi tersebut. Dimana keluarga tersebut memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk melaksanakan kegiatan ekonomi informal. Jenis kegiatan ekonomi informal dimaksud seperti pemulung, menyemir sepatu, mengamen, mengemis dan asongan serta melakukan pelacuran.
Dilihat dari struktur keluarga, sebagian besar (66,67 %) termasuk ke dalam keluarga kecil, yang terdiri dari unsur ayah, ibu dan anak-anak. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa jumlah tanggungan responden cukup besar. Sebanyak 43,33% keluarga memiliki jumlah tanggungan sebanyak 4 orang lebih.

Karena itu, meskipun mereka sebagian besar termasuk keluarga kecil, namun terdapat keluarga yang persentasenya cukup besar berpotensi memiliki permasalahan dalam mengembangkan hubungan sosial, pembagian kerja dan pemenuhan kebutuhan sosial dasar.

Karena peranan ayah sebagai kepala keluarga dan bertugas mencari nafkah, secara konvensional ayah memposisikan dirinya sebagai orang yang paling dominan memegang kendali keluarga. Dalam penelitian ini diketahui, bahwa sebanyak 40% ayah mempunyai peranan yang besar dalam kehidupan keluarga. Sebagimana dikemukakan terdahulu, bahwa perubahan sosial budaya telah merubah pola-pola manajemen keluarga. Karena itu, dominasi ayah dalam mengelola keluarga menjadi tidak mutlak. Sebagaimana hasil penelitian ini, bahwa sebanyak 30% keluarga tidak ada yang memiliki posisi dominan. Artinya, dalam keluarga ini segala kegiatan dan keputusan sudah dilaksanakan secara kolektif antara ayah, ibu dan anak-anak.
Fungsi Sosial-Psikologis

Di dalam fungsi sosial-psikologis ini ada sejumlah peranan dan tugas-tugas yang perlu dilaksanakan oleh orang tua. Fungsi sosial-psikologis ini lebih diarahkan pada pengembangan komunikasi atau hubungan sosial yang hangat antara orang tua dengan anak, dan antara anak dengan anak dalam upaya membentuk kepribadian anak. Hasil penelitian mengenai tindakan pembentukan kepribadian orang tua kepada anak, dari 7 (tujuh) jenis tindakan dalam rangka pembentukan kepribadian anak, yaitu pengembangan komunikasi antar nak, memberi peran dan tanggung jawab, memberikan pujian/penghargaan, mengembangkan kerja sama, menanamkan saling mengasihi dan hormat, pemberian contoh dan memelihara keakraban dalam keluarga; bahwa jawaban responden sebagian besar jatuh pada kategori kadang-kadang (atau sedang) dengan persentase sebesar 40 – 66%.

Secara ideal, kepribadian seseorang ditampilkan dalam bentuk perilaku sosial yang teramati. Untuk mengembangkan perilaku yang positif diperlukan tindakan dari orang tua, sehingga nilai yang sudah tertanam dalam pribadi remaja, dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan standar sosial dalam keluarga maupun dalam masyarakat luas. Ada sejumlah jenis tindakan yang dilakukan orang tua dalam pembentukan kepribadian, yaitu protektif, memberikan kebebasan pada anak, terlalu menurut anak, penolakan terhadap anak, penerimaan terhadap anak, dominasi orang tua, mengajarkan kepatuhan, tidak adil, ambisi orang tua, mendengarkan keluhan anak, dan mengatasi masalah bersama. Jawaban responden sebagian besar jatuh pada kategori kadang-kadang (atau sedang) dengan persentase sebesar 43 – 70%.

Setelah proses pembentukan sikap dan pola tingkah laku remaja, selanjutnya perlu ditelusuri bagaimana hubungan sosial antara anggota keluarga, sebagai hasil dari pelaksanaan fungsi sosial. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada umumnya pola hubungan antara anggota keluarga berada pada kategori biasa-biasa. Batasan konsep “biasa-biasa” ini, bahwa dalam keluarga pernah terjadi perselisihan antara orang tua – anak atau antar anak dalam frekuensi kadang-kadang, dan diselesaikan secara baik-baik.

Kekurang-harmonisan antara anggota keluarga tentu saja ada faktor penyebabnya. Berbagai alasan yang dikemukakan responden terjadinya kekurang harmonisan dalam keluarga, yaitu (1) anak tidak menurut pada orang tua, (2) anak jarang pulang atau bertemu dengan anggota keluarga, dan (3) terjadinya komunikasi yang buruk antara orang tua dengan anak.

Kemudian dalam kaitannya dengan tindak tuna sosial remaja atau secara lebih spesifik kenakalan remaja, digali pandangan orang tua. Pada umumnya orang tua sepakat bahwa jenis tindakan berikut merupakan bentuk kenakalan, yaitu berbohong, merokok, membolos, melawan guru, mejeng di mall, begadang dijalanan, pulang larut, tidak/jarang pulang, berkelahi/tawuran, minum minuman keras, mengkonsumsi napza, seks bebas, mencuri, memeras/memalak dan merampok (53 – 100 %).

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan pada remaja, menurut orang tua, yaitu (1) pengaruh teman sebaya, (2) lingkungan sosial, (3) pola asuh dalam keluarga, dan (4) pengaruh nonton flim/TV. Meskipun menurut orang tua, penyebab kenakalan remaja yang dominan berasal dari lingkungan sosial, namun pada umumnya orang tua berpendapat bahwa pencegahan terjadinya kenakalan remaja perlu dimulai dari dalam keluarga, antara lain dengan mengembangkan hubungan sosial yang hangat, menanamkan disiplin, pemberian contoh dan pendidikan mental spiritual.

Kehidupan Sosial Remaja
Kehidupan Remaja Dalam Keluarga

Gambaran tentang hubungan remaja dengan anggota keluarganya diungkap dengan melihat penilaian remaja terhadap kegiatan yang dilakukan bersama keluarganya, ketersediaan waktu orangtua bersama anak, orang yang paling sering diajak memecahkan masalah dan kegiatan lingkungan yang diikuti.

Untuk mengetahui pelaksanaan fungsi sosial keluarga ini, berikut disajikan sejumlah kegiatan yang sering diikuti secara bersama-sama oleh anggota keluarga menurut remaja. Sebanyak 60 remaja merasa tidak ada kegiatan keluarga yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan yang sering diikuti anggota keluarga. Selebihnya (40%) menyatakan sejumlah kegiatan yang sering diikuti walaupun dalam frekuensi yang sangat rendah seperti makan dan ibadah, kunjungan keluarga dan nonton TV. Kemudian menurut intensitas pertemuan dengan keluarga, 70% remaja merasa bahwa intensitas pertemuan keluarga masih belum maksimal, yang meliputi kategori jarang sebanyak 33,33 % dan kategori sangat jarang 36,67%. Besarnya angka ini mencerminkan bahwa menurut remaja sebagian besar keluarga masih kurang memperhatikan aspek kebutuhan sosial keluarga sesuai dengan tuntutan kebutuhan.

Minimnya kegiatan bersama anggota keluarga ini tidak terlepas ketersediaan waktu orangtua untuk mengadakan kegiatan tersebut. Sesungguhnya di mata remaja 63,33% orangtua mempunyai waktu yang memadai untuk mengadakan kegiatan bersama dan 36,6% kurang tersedia waktunya. Bila dibandingkan dengan data sebelumnya tentang intensitas pertemuan keluarga, ternyata hanya 30% yang sering mengadakan pertemuan. Ini berarti ada 33,33% keluarga yang ketersediaan waktunya memadai namun tidak memanfaatkannya untuk mengadakan pertemuan keluarga. Dalam kondisi yang demikian anak dapat mengambil kesimpulan (persepsi) tersendiri yang bersifat negatif terhadap keluarganya.

Dari segi pemanfaatan waktu untuk mengadakan pertemuan keluarga sebagaimana dimaksudkan di atas dapat melibatkan dua pihak. Pihak pertama adalah pihak orangtua sebagai pemimpin keluarga, dan pihak kedua adalah anggota keluarga lainnya termasuk anak (remaja). Di satu sisi orangtua sebagai kepala keluarga diharapkan mengambil inisiatif lebih dahulu, dan di sisi lain inisiatif mungkin datang dari anggota keluarga lainnya termasuk anak (remaja), namun keputusan tetap ditentukan oleh orangtua. Bahwa orangtua yang selalu menanggapi anak ketika mengutarakan pendapatnya hanya 26,67 %, sementara sebagian besar lagi (73,33 %) tidak maksimal dalam menanggapi. Sikap orangtua yang kurang dalam menanggapi anaknya ini dapat berakibat negatif terhadap anak. Misalnya anak menjadi malas dalam mengutarakan pendapatnya atau mengambil inisiatif tertentu terhadap satu masalah.
Persepsi Remaja terhadap Pola Asuh

Bahwa pola asuh yang dominan menurut remaja adalah pola asuh otoriter (83,33%), disusul dengan pola asuh permisif dan demokratis masing-masing 33,33%. Ini berarti bahwa menurut remaja terdapat 90 % keluarga yang kurang demokratis dalam menerapkan pola asuh terhadap anak-anaknya. Hal ini akan menciptakan iklim yang kurang kondusif bagi perkembangan anak.

Sejalan dengan pola asuh tersebut dapat dicermati lebih jauh dasar pemikiran dan tindakan orangtua dalam mengasuh anaknya. Pola asuh yang demokratis akan bertindak lebih rasional, dengan angka persentase yang kebetulan sama yaitu 33,33%. Demikian pula sebaliknya dengan pola asuh yang tidak demokratis (permisif dan otoriter) yang mempunyai persentase yang relatif sama dengan kategori tindakan yang tidak rasional (emosional dan irasional), yaitu 90%. Pola asuh yang dikembangkan dalam satu keluarga selanjutnya dapat mengantarkan anak pada satu gambaran tertentu tentang tingkat keharmonisan keluarga.
Kehidupan Remaja di Luar Rumah

Deskripsi tentang gaya hidup remaja di perkotaan digambarkan dengan melihat beberapa aspek kehidupan atau kegiatan remaja. Aspek tersebut adalah lokasi atau tempat yang paling sering dikunjungi, tujuan mangkal pada tempat yang dikunjungi, alasan untuk mendatangi tempat tersebut, keuntungan yang diperoleh mangkal di tempat tersebut, rata-rata lama waktu yang dihabiskan saat berkunjung, dan waktu yang paling sering digunakan untuk berkunjung.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa lokasi yang banyak dikunjungi remaja adalah pusat kegiatan ekonomi maupun sosial yang lebih bernuansa hiburan. Adapun tujuan mereka mengunjungi tempat-tempat tersebut adalah (1) mencari uang, (2) mencari hiburan dan (3) cari teman baru. Dari ketiga jenis tujuan tersebut, mencari hiburan menjadi tujuan utama remaja. Sedangkan alasan mereka adalah 83,33% karena orangtua otoriter, 50% karena tidak betah di rumah, 16,67% karena tidak ada lokasi main, dan 16,67% membantu ekonomi keluarga. Alasan tersebut sejalan dengan keuntungan yang diperoleh remaja pada saat mangkal, yaitu dapat hiburan dan stres hilang (100%), dapat teman baru (53,33%) dan ketemu teman lama (13,33%). Alasan dan keuntungan tersebut juga sejalan dengan tujuan remaja mangkal, yaitu mencari hiburan (100%), dan cari teman baru (53,33%).

Faktor lain yang terkait dengan perilaku mangkal remaja ini adalah waktu yang sering digunakan remaja untuk mangkal. Sebanyak 60% pada siang hari, 23% sore dan 17% malam hari. Kemudian dilihat dari lamanya mangkal, 56,67% antara 1-3 jam, 26,67% antara 4-6 jam, dan16,67 % lebih dari 6 jam.

Data ini menunjukkan bahwa 83,33% remaja menghabiskan waktunya pada siang dan sore hari di luar rumah untuk mangkal. Perlu diketahui bahwa data tersebut hanya untuk satu kegiatan remaja yaitu mangkal. Artinya masih banyak kegiatan lainnya di luar rumah yang belum tercatat. Ini mengindikasikan bahwa intensitas pertemuan dengan anggota keluarga lainnya terutama dengan orangtua sangat terbatas. Terbatasnya pertemuan dengan anggota keluarga ini akan mempengaruhi kualitas hubungan sosial dalam keluarga. Bahkan lebih parah lagi 16,67 % remaja mangkal pada malam hari, dengan lama mangkal 16,67% lebih dari 6 jam. Meskipun persentasenya relatif kecil, namun alokasi waktu tersebut sangat rawan secara sosial dengan berbagai tindakan tuna sosial.
Persepsi terhadap Kenakalan

Berbeda dengan pendapat orang tua, bahwa berbohong, merokok, mejeng di mall, berkelahi/tawuran, dan minum minuman keras bukan termasuk tingkah laku nakal. Sedangkan jenis tindakan yang menurut remaja termasuk nakal, yaitu menggunakan narkoba, seks bebas, mencuri, memeras/ malak, dan merampok. Namun demikian sikap yang tegas tersebut ternyata tidak menjamin mereka tidak melakukan tindakan dimaksud. Misalnya demi persahabatan, ataupun pelarian sesaat.

Sedangkan faktor yang menyebabkan remaja bertingkah laku nakal, yaitu (1) teman sebaya, (2) lingkungan, (3) pola asuh otoriter, dan (4) pengaruh film dan TV. Dari faktor-faktor tersebut persentase tertinggi adalah pengaruh dari lingkungan (86,67 %) dan pola asuh otoriter orang tua (70,00%). Sehubungan dengan itu, menurut remaja dilakukan beberapa tindakan untuk mencegah terjadinya kenakalan remaja, yaitu (1) teladan orang tua, (2) disiplin dalam keluarga, (3) pendidikan agama dalam keluarga, dan (4) memelihara hubungan sosial yang hangat dalam keluarga.



Program Pemerintah

Lembaga pemerintahan yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah unit pemerintahan yang memiliki program pemberdayaan keluarga dan pembinaan remaja, yaitu Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Pemuda dan Olah Raga dan Badan Narkotika Propinsi.

Pemberdayaan Keluarga

Program yang dikembangkan dalam pemberdayaan keluarga, yaitu peningkatan status sosial ekonomi bagi keluarga muda yang rawan sosial ekonomi, dan konsultasi keluarga. Tujuan dari program ini, bahwa peningkatkan ketahanan keluarga melalui pemantapan fungsi-fungsi keluarga. Implementasi program melalui pendekatan kelompok usaha bersama, dimana keluarga yang menjadi sasaran program dibagi-bagi ke dalam kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari 10 orang. Paket di dalam program pemberdayaan ini, yaitu bimbingan fisik, sosial, mental-spiritual dan bimbingan ekonomis produktif.

Peningkatan Kesejahteraan Anak dan Remaja

Program pemberdayaan anak (termasuk di dalamnya remaja) dibedakan menjadi dua pendekatan, yaitu sistem panti dan luar panti. Tujuan dari penyelenggaraan program pelayanan bagi anak adalah agar anak menemukan hak dan kebutuhannya, sehingga dapat hidup secara wajar. Di samping melaksanakan pelayanan langsung, dinas sosial juga memberikan bantuan teknis kepada organsiasi sosial/LSM yang menyelenggarakan program pemberdayaan anak.
Pemulihan Sosial

Pemulihan anak nakal dan eks korban narkotika dilaksanakan melalui sistem panti. Untuk anak nakal di dalam Panti Sosial Marsudi Putra, dan untuk anak eks korban penyalahgunaan Narkotika di dalam panti Sosial Pamardi Putra. Tujuan yang dicapai dari progran pemulihan ini, anak dapat kembali hidup secara wajar di dalam lingkungan keluarganya, dan dapat kembali sekolah seperti dulu. Di samping melaksanakan program pemulihan langsung, dinas sosial juga memberikan bantuan teknis kepada organisasi sosial yang menyelenggarakan program pemulihan bagi anak eks korban narkotika.

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat

PKBM merupakan suatu wadah yang dijadikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, mengkoordinasikan dan mengontrol program Diknas sesuai dengan kebutuhan kondisi masyarakat, sehingga mampu menggali, menumbuhkan dan memberdayakan potensi masyarakat baik spiritual, material dan personal.

Manfaat PKBM bagi masyarakat adalah memberikan wahana bagi warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan warga belajar berupa pengetahuan dan keterampilan yang bermakna bagi kehidupannya. Kemudian yang menjadi sasaran PKBM yaitu masyarakat yang membutuhkan layanan pendidikan yang tersedia di PKBM.
Pembinaan Remaja dan Karang Taruna

Program yang dilaksanakan adalah Pemberdayaan Organisasi sosial kepemudaan tingkat desa. Wujud pemberdayaannya antara lain pembinaan/ bimbingan dan pemberian bantuan. Untuk pembinaan / bimbingan sosial dilaksanakan melalui penyuluhan-penyuluhan di 5 kabupaten. Sedangkan untuk pembinaan usaha ekonomis produktif berupa bimbingan kewirausahaan. Selain itu dilaksanakan juga semacam studi banding antar daerah.

Tujuan dari program ini adalah pembinaan remaja agar dapat mengisi waktu luangnya dengan hal-hal positif dan menghindarkan diri dari kegiatan negatif. Sasaran yang dicapai antara lain pengurus dan anggota Karang Taruna di tingkat desa. Melalui sasaran ini diharapkan dapat mempunyai multiply effect pada remaja lainnya.
Pencegahan Narkoba dan Kesehatan Reproduksi

Program yang dilaksanakan meliputi pencegahan narkoba, kesehatan reproduksi remaja dan kepedulian remaja terhadap lingkungan. Program ini dikemas dalam berbagai bentuk seperti penyuluhan, talk show, TOT, festival film, lomba kreativitas remaja hingga tukar-menukar pengiriman pemuda baik antar propinsi maupun antar negara.

Penyuluhan yang dilakukan meliputi penyuluhan di sekolah-sekolah dan penyuluhan terpadu di lima kabupaten/kota per tahun. Untuk penyuluhan di sekolah pelaksanaannya bekerjasama dengan sekolah-sekolah. Kegiatannya dilanjutkan dengan TOT bagi siswa SLTP dan SMU untuk menjadi peer educator sampai dibentuknya Posko-posko di setiap sekolah.

Program Orsos/LSM

Pemberdayaan Anak Jalanan

Program yang dikembangkan dalam LSM Bahtera yaitu pemberdayaan anak jalanan dan keluarganya. Adapun tujuan yang akan dicapai adalah (1) anak jalanan dapat melanjutkan sekolahnya, (2) anak jalanan dapat memperoleh keterampilan kerja produktif dan bekerja secara layak, dan (3) terjadinya peningkatan kondisi sosial ekonomi keluarga anak jalanan, sehingga mampu menarik anaknya dari jalanan. Dalam pelaksanaannya mengembangkan kerja sama dengan instansi pemerintah seperti Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial.

Pemberdayaan Keluarga Miskin Perkotaan

Usaha Ekonomis Produktif dan Usaha Mandiri Bagi kelurga miskin perkotaan dan anak yang menyandang masalah sosial. Adapun tujuan yang akan dicapai adalah meningkatkan produktivitas dan kemandirian ekonomi keluarga. Sumber dana kegiatan diperoleh dari Bank Pembangunan Asia (ADB) yang dikucurkan melalui program Jaring Pengaman Sosial – Bidang Sosial (JPS-BS) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di samping itu dana yang diperoleh dari masyarakat.

Pencegahan Tindak Tuna Sosial Remaja

Program yang dikembangkan dalam upaya pencegahan ini, dinamakan Investasi Masa Depan Bangsa dalam bentuk pendidikan formal, non formal dan diklat pemberdayaan. Sumber dana kegiatan diperoleh dari Dinas Sosial Jawa Barat. Tujuan yang akan dicapai dari program ini adalah memotivasi remaja agar memiliki tanggung jawab terhadap masa depan bangsa.

Pencegahan HIV/AIDS

Program yang dilaksanakan yaitu (1) kemah Remaja Peduli AIDS dan Narkoba (pameran kespro, seni musik, dll), (2) pelatihan Kesehatan Reproduksi (3 angkatan), (3) pelatihan Remaja “Menikah kapan sebaiknya ?” (esensi kesehatan reproduksi, IMS, HIV/AIDS dan Narkoba), (4) dan pembuatan Film Video Cassete “Aids dan Narkoba Sahabatku”. Tujuan dari program dan kegiatan yang dilaksanakan pada dasarnya adalah health promotion dan pengubahan perilaku masyarakat terutama pada masyarakat yang rawan narkoba.
Pembinaan Mental dan Spiritual Remaja

Program yang dilaksanakan oleh Remaja Masjid meliputi pembinaan mental dan spiritual remaja yang dilaksanakan melalui pendekatan seni baca shalawat dan peringatan hari besar Islam, dan seni musik bernuansa islami. Tujuan dari pembinaan mental dan spiritual ini lebih diutamakan kepada menyiarkan dan mengembangkan Syiar Islam, terutama kepada kaum remaja Islam sebagai generasi penerus bangsa., termasuk di dalamnya pencegahan terhadap tindak kenakalan dan ketunaan sosial lainnya.



III. PENUTUP

Kesimpulan

- Terlihat bahwa kehidupan kelurga sedang mengalami masa transisi dari kehidupan keluarga besar menjadi keluarga inti, dari budaya tradisional pedesaan menjadi budaya modern perkotaan. Karena itu, kehidupan mereka ini sangat rentan terhadap setiap kondisi, perubahan dan pengaruh lingkungan yang terjadi. Selain itu, pendapat mereka kurang dapat menopang secara keseluruhan kebutuhan keluarga. Tentu faktor ini juga menjadi faktor penyebab percepatan perubahan dalam kehidupan keluarga tersebut. Mungkin suatu saat mereka akan melakukan apa saja untuk menghidupi keluarga karena tuntutan kebutuhan dan perubahan yang terjadi.

- Dalam pola asuh keluarga terhadap anak, pihak orang tua atau keluarga mulai memberikan kebebasan yang lebih besar kepada anak. Jelas hal ini akan memberikan akses interaksi sosial yang semakin luas terhadap anak untuk bergaul dengan teman-temannya. Sesungguhnya akses ini akan memberikan peluang kepada anak untuk mengembangkan kreativitas, kemandirian dan wawasan anak, bilamana dapat diimbangi dengan kontrol keluarga yang baik. Namun, sebaliknya bila keluarga tidak dapat mengontrolnya, tidak mustahil akan terjadi perilaku-perilaku yang a-sosial terhadap anak. Karena itu, perlu dilakukan pemberdayaan-pemberdayaan terhadap keluarga.

- Lama waktu yang dihabiskan anak berada di tempat-tempat hiburan tersebut sebagian besar antara 1-3 jam; digunakan untuk berkunjung ke tempat-tempat tersebut adalah pada malam hari antara 19.00 – 21.00; dan sebagian lagi pada siang hari antara 13.00 – 17.00 WIB, sisanya tidak tentu, mungkin pada siang hari, sore hari, malam hari, atau larut malam. Waktu-waktu ini sesungguhnya merupakan waktu yang sangat rawan bagi kehidupan anak. Namun ini dapat terjadi karena fungsi keluarga dan lingkungan sosial tidak dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan.

- Terlihat adanya kesamaan persepsi antara orang tua dengan anak dalam melihat beberapa variabel sikap dan perilaku sebagai perilaku nakal, seperti ; membolos sekolah, melawan guru, mejeng di pertokoan, bergadang di jalanan, pulang larut malam, tidak pulang ke rumah, berkelahi tawuran, minuman keras, narkotika, seks bebas, mencuri, memeras, membajak atau merampok. Namun, beberapa variabel sikap dan perilaku tidak dilihat sebagai perilaku nakal baik oleh anak maupun orang tua itu sendiri, seperti : berbohong, merokok, terlambat sekolah, dan tidak mau belajar. Pemandangan seperti ini akan menjadi titik masuk yang memberikan peluang ke pada anak untuk menjadi nakal.

- Menurut para remaja ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan anak, seperti: pengaruh media massa khususnya TV dan film, faktor teman sebaya dan masyarakat sekitar, kurangnya perhatian orang tua dan tidak adanya kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan anak di rumah.

- Beberapa upaya yang perlu dilakukan dalam mencegah kenakalan remaja, yaitu anak harus dilatih tertib dan disiplin, kerukunan dan kehangatan dalam keluarga harus tetap dibina, anak harus dianjurkan untuk tetap melakukan kewajiban-kewajiban ibadah, orang tua harus dapat menjadi tauladan bagi anak, orang tua harus lebih memperhatikan kehidupan anak dan anak harus diberikan kegiatan-kegiatan positif dalam keluarga yang dapat mencegah anak berbuat nakal.

- Program-pogram yang ditawarkan kepada masyarakat khususnya dari pihak pemerintah dalam rangka mencegah sikap dan perilaku tindak tuna sosial belum sepenuhnya dapat menjawab permasalahan keluarga yang sesungguhnya. Program yang ditawarkan belum mampu merubah aspek kognitif, efektif dan psikomotorik dari masyarakat tersebut, program yang ditawarkan lebih banyak menekankan pada aspek bantuan fisik. Sedangkan program dari pihak LSM atau organisasi sosial dapat dikatakan lebih masuk pada aspek kognitif, efektif dan psikomotorik kemudian diikuti oleh bantuan oleh bantuan fisik. Namun, frekuensinya masih terbatas karena dana terbatas.

Rekomendasi

- Sebelum mereka lebih jauh larut dalam perubahan kota yang mungkin terjadi, dan mereka kurang mampu mengontrol perubahan yang terjadi, maka sangat diperlukan pemberdayaan-pemberdayaan yang dapat menjawab tuntutan perubahan yang terjadi.

- Pemberdayaan yang diberikan perlu menekankan: (a) terjadinya perubahan aspek kognitif, afektif dan aspek psikomotorik yang diikuti dengan bantuan fisik; (b) perlu adanya koordinasi di antara instasi terkait termasuk LSM atau Orsos; (c) perlu adanya keterpaduan program dalam hal perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan sehingga hasilnya lebih maksimal dan frekuensinya lebih sering; dan (d) belum melibatkan secara penuh partisipasi masyarakat dan potensi-potensi yang ada dalam masayrakat tersebut.

- Berangkat dari hasil penelitian dan kerangka teoritik yang ada maka pola pemberdayaan keluarga guna mencegah terjadinya tindak tuna sosial dapat diarahkan pada:

Ø Pemberdayaan harus melihat keluarga sebagai sistem yang tidak terpisahkan satu sama lain. Artinya bila anak yang bermasalah, maka harus dilihat dalam konteks keluarga tersebut

Ø Pemberdayaan kelurga diarahkan pada penguatan struktur dan pengembalian fungsi keluarga yang sesungguhnya. Ayah harus berfungsi sebagai ayah, sebagaimana layaknya sebagai seorang ayah, demikian juga dengan ibu dan anak. Hendaknya jangan suatu kebutuhan keluarga harus dicari diluar rumah karena di dalam keluarga tidak terpenuhi. Bila itu didapatkan di luar rumah, tentu karena kesepakatan bersama..

Ø Pemberdayaan diarahkan pada pengembangan identitas individual yang merupakan ciri individu tersebut, namun tetap dalam kebersamaan dan kesatuan dengan keluarga tersebut.

Ø Pemberdayaan keluarga harus diarahkan pada pengembangan komunikasi horizontal yang semakin kondusif di antara anggota keluarga yang dapat memperkuat ikatan batin di antara anggota keluarga yang ada.

Ø Guna memantapkan fondasi ekonomi-sosial keluarga yang semakin mantap maka perlu pemberdayaan dalam bidang usaha-usaha ekonomis produktif.

0 komentar: