Angka kemiskinan yang ada di Indinesia dari tahun ketahun sepertinya belum pernah berkurang begitu banyak. Malah belakagan ini angka tersebut semakin besar karena begitu dasyatnya pengaruh krisis moneter yang berimbas pada krisis ekonomi. Laju inflasi yang semakin besar dan tidak sesaaat menjadi pelengkap keterpurukan warga masyarakat. Meskipun data ini terus bergulir dan mengalami perubahan setiap saat, namun sampai saat ini masih harus bekerja keras dalam menetapkan kriteria seseorang atau keluarga tersebut bisa termasuk miskin. Jangan sampai terulang kembali pada setiap melakukan program pengentasan kemiskinan diawali dulu dengan debat kusir orang atau kekuarga miskinnya. Pemangku kepentingan dan pelaku pengambil kebijakan sudah saatnya sevara bersama-sama mempunyai kesepahaman sekaligus kesepatan tentang kriteria tersebut sehingga bisa menjadi indikator bagi siapa saja yang akan melakukan pendataan.
perlu disadari bahwa kemiskinan bukan hanya sederetan angka, tetapi menyangkut nyawa jutaan rakyat miskin, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan, kawasan pesisir, dan kawasan tertinggal. Sehingga masalah kemiskinan menyentuh langsung nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan dan keadilan. Keberadaan masyarakat pedesaan, yang sampai saat ini masih belum terlihat mampu beranjak dari himpitan kemiskinannya. karena kemiskinan yang terjadi bukan hanya karenan rendahnya pendapatan, keterbatasan sarana dan prasarana tetapi juga menyangkut kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin.
Masalah kemiskinan ini berkaitan erat dengan tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin dalam mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya secara bermartabat. Menjalani kehidupan yang selalu berada dalam jeratan kemiskinan bisa menjadikan seseorang terjerumus ke dalam pola kehidupan yang membawa kenistaan. Untuk bisa bermartabat dalam kehidupannya, masyarakat perlu ditopang oleh kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak.
Walupun sampai saat ini masih belum ada kesepahaman dan kesepakatan dalam penentuan indikator kemiskinan. Sehingga secara riil dalam menentukan data masyarakat miskin yang sesuai dengan keberadaannya masih sulit untuk dimiliki. Banyak hal memang yang mempengaruhi seseorang dikatakan miskin bila keadaannya memang dia tidak mampu berdiri sederajat dengan lingkungan masyarakat secara memadai, maka kemiskinan yang terjadi mempunyai rentang dimensi dan kerentanan yang lebar. Meskipun demikian bukan hanya sekedar kemiskinan relatif yang perlu dipersoalkan, tetapi kemiskinan absolut yang dapat membuat seseorang tidak mempunyai kemampuan untuk mengakses segala kebutuhan pokok bagi keberlangsungan hidupnya.
Upaya memahami kemiskinan secara holistik (menyeluruh) adalah penting. Bagaimana orang miskin bisa mengakses pangan murah, memperoleh pelayanan gizi dan kesehatan, menempuh pendidikan tinggi, semua itu perlu dipahami oleh para pembuat atau penentu kebijakan.pemahaman mengenai karakteristik orang miskin merupakan pintu untuk bisa memecahkan masalah kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) diantaranya yang telah memiliki karakteristik masyarakat miskin yang diistilahkan dengan indikator kemiskinan dan indikator ini yang sampai saat ini lazim digunakan walaupun masih terdapat limitasi tinggi. Namun dengan adanya hasil yang telah dimiliki seperti ini juga sudah bisa digunakan sebagai ?tongkat pembimbing ke arah kegelapan? dalam melacak keberadaan orang miskin. Dengan meminjam pendapatnya Prof. AH. Nasution dalam pengukuhan Guru Besarnya di Institut Pertanian Bogor (Seldadyo, 2005:1) masih lebih baik punya informasi biarpun itu salah dari pada tanpa informasi sama sekali. Ini tindakan minimal. Untuk lebih sesuai lagi perlu terus dilakukan perbaikan sehingga ?tongkat? itu bisa benar-benar bermanfaat.
DATA YANG TEPAT TENTANG KELUARGA MISKIN
Hingga saat ini memang kita hanya mengandalkan dua sumber data ketika membicarakan masalah kemiskinan. Data Susenas BPS dan data Keluarga (Pra-) sejahtera BKKBN. Dari kedua lembaga yang berbeda ini tentu kita akan mendapat informasi yang berbeda pula tentang data jumlah warga masyarakat miskin. Diantaranya versi BPS tahun 2004 jumlah warga miskin sebanyak 16,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia dan versi BPS warga miskin ini sebanyak 30 persen dari jumlah penduduk (Sri Mulyani, 2005:2). Kedua versi data ini memang bisa dipercaya secara ilmiah namun sama-sama memiliki keterbatasan. BPS dalam pelaksanannya menggunakan metode tehnik sampling sehingga menjadi sulit untuk menentukan dimana letaknya warga atau keluarga miskin tersebut berada. Sedangkan BKKBN dengan mengandalkan petugasnya yang turun langsung ke lapangan namun data ini juga masih sulit untuk digunakan dalam hal lain karena spesifik hanya untuk tujuan para petugas BKKBN sendiri.
Data yang dihasilkan dari kedua lembaga ini sepertinya membuat kita masih terus mengernyitkan kening. Rasanya pemerintah telah lama mencanangkan program pembangunan dalam rangka pengentasan kemiskinan tetapi angka yang begitu banyak masih saja belum pernah habis. Kita akan lebih tercengang lagi bila data yang dimunculkan berdasarkan indikator internasional seperti yang terdefinisi miskin dalam kategori Millenium Development Goals (MDGs) adalah warga miskin yang berpendapatan di bawah satu dolar AS setiap harinya, bisa jadi data itu akan bertambah menjadi ?tiga kali lipat? dari yang kita miliki saat ini. Kemudian Asian Development Bank memberikan informasi data warga miskin di Indonesia tahun 1999 totalnya sebanyak 23,4% (Poperty Statistic, 2005:1). Bahkan bila menggunakan dasar garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia sebesar $US2 perkapita perhari (Suharto, 2005: 19), setelah dikonversi ke dalam rupiah menjadi sekitar Rp. 540.000 maka tentunya jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 60% dari total penduduk saat ini.
Jumlah warga miskin ini juga pada setiap kali kemunculannya selalu berubah dan satu sama lain selalu berbeda. Sudah barang tentu hal ini menuntut adanya kriteria atau indikator yang sama bagi keluarga miskin yang benar-benar tepat yang bisa memberikan petunjuk untuk bisa mendapatkan data yang betul-betul akurat. Siapapun yang mengukurnya akan mendapatkan hasil yang sama. Data ini bisa digunakan untuk berbagai kepentingan, tidak hanya kepentingan sesaat seperti kampanye dalam pemilihan umum, pemilihan kepala daerah dan sebagainya. Banyak kalangan menyadari bahwa tidak mudah membuat kesepakatan indikator kemiskinan ini. Diantaranya seperti yang dikatakan Sri Mulyani (2005:1) setiap kali kita meluncurkan program baru pasti diawali dengan perdebatan data mana yang harus digunakan. Namun beliau sepertinya lebih cenderung untuk lebih memperhatikan BPS alasannya sederhana karena pada saat kampanye Presiden RI yang lalu data kemiskinan yang digunakan adalah data BPS.
Sudah saatnya memang kita memiliki data yang berasal dari satu lembaga seperti BPS dengan dukungan sumber daya yang ada, atau bekerja sama dengan pemerintah daerah secara formal BPS bisa mengoptimalkan hasil pendataannya. Data yang dihasilkan nantinya tidak hanya mampu memprediksi saja tapi data yang benar-benar riil. Data ini juga secara transparan harus bisa dicek dan diricek oleh siapapun. Bahkan menurut Alwi Sihab (2005: 1) kaitannya dengan pencapaian target tujuan pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) dan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) perlu adanya target sasaran yaitu kesepahaman dari seluruh kabupaten/kota yang telah melakukan pemilihan kepala daerah langsung (pikadal) tentang masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Adanya komitmen para pemangku kepentingan daerah untuk melakukan pengarustamaan penanggulangan kemiskinan dalam dokumen RPJMD serta perencanaan anggaran. Dengan adanya dasar seperti ini penanganan program kemiskinan bisa langsung tepat sasaran.
INDIKATOR KEMISKINAN
Sampai saat ini BPS menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran komoditas pangan dan non pangan. Komoditas pangan terpilih terdiri dari 52 macam, sedangkan komoditas non pangan terdiri dari 27 jenis untuk kota dan 26 jenis untuk desa. Garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS dari tahun ketahun mengalami perubahan. Seperti menurut Indonesian Nutrition Network (INN) tahun 2003 adalah Rp. 96.956 untuk perkotaan dan Rp. 72.780 untuk pedesaan. Kemudian menteri sosial menyebutkan berdasarkan indikator BPS garis kemiskinan yang diterapkannya adalah keluarga yang memilki penghasilan di bawah Rp. 150.000 perbulan. Bahkan Bappenas yang sama mendasarkan pada indikator BPS tahun 2005 batas kemiskinan keluarga adalah yang memiliki penghasilan dibawah Rp. 180.000 perbulan.
Dalam penanggulangan masalah kemiskinan melalui program bantuan langsung tunai (BLT) BPSpun telah menetapkan 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin, seperti yang telah disosialisasikan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika (2005), rumah tangga yang memiliki ciri rumah tangga miskin, yaitu:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari babmu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha,buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Ada satu kriteria tambahan lagi, hanya tidak terdapat dalam leaflet bahan sosialisasi Departemen Komunikasi dan Informatika tentang kriteria rumah tangga miskin, yaitu rumah tangga yang tidak pernah menerima kredit usaha UKM/KUKM setahun lalu.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka rumah tangga yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan tunai langsug itu adalah: a) rumah tangga yang tidak memenuhi kriteria tersebut di atas, b). PNS, TNI, Polri/pensiunan, c). pengugsi yang diurus oleh pemerintah, dan d). penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal.
Dengan menggunakan kriteria seperti ini, BPS telah berhasil mendata keluarga miskin sebanyak 14.277.012 kepala keluarga. Setelah data itu direalisasikan dalam pelaksanaan BLT ternyata masih terdapat kelemahan dan kekurangan. Diantaranya ditemukan 530 Kartu Kompensasi BBM bermasalah di Sulsel. BPS Jember menarik kembali sebanyak 2.292 Kartu Kompensasi BBM dan di Yogyakarta sebanyak 50.000 (lima puluh ribu) keluarga miskin belum memperoleh Kartu Kompensasi BBM. (www.gatra.com , 2005)
Sebetulnya Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1976 melalui Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) telah menyusun komposisi kebutuhan dasar pangan dan non pangan. Komposisi tersebut dijadikan indikator untuk mengukur pengeluaran perkapita di daerah kota dan desa. Komoditas pangan terdiri dari padi-padian dan hasil-hasilnya, ubi-ubian dan hasil-hasilnya, ikan dan hasil-hasilnya, daging, telur, susu dan hasil-hasil dari susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, konsumsi lainnya, makanan yang sudah jadi, minuman yang mengandung alkohol, tembakau dan sirih. Sedangkan komoditas non pangan adalah perumahan, bahan bakar, penerangan, air, barang-barang dan jasa-jasa, pakaian, alas kaki dan tutup kepala, barang-barang yang tahan lama, keperluan pesta dan upacara. Dengan penetapan indikator yang dimiliki BPS seperti ini Mubyarto (2005:1) memberikan dukungannya, artinya indikator seperti ini bisa dijadikan dasar makro dalam menentukan data keluarga miskin, selanjutnya dalam era otonomi daerah maka pemerintah daerahlah yang secara rinci menyesuaikan dengan program/proyek penangulangan kemiskinan.
INN memandang indikator yang telah ditetapkan BPS belum cukup untuk memberi batasan seseorang atau keluarga itu berada diluar garis batas kemiskinan jika dengan penghasilannya baru mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum. Sebagai mahluk sosial anggota keluarga harus dapat berfungsi sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan sekitarnya, ini berarti diantara anggota keluarga mampu menyumbang bila tetangganya melakukan hajatan, terkena musibah, mampu menjangkau sumber-sumber informasi penting seperti radio, koran dan sebagainya. Diantaranya juga indikator ini bisa memasukkan kriteria para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang sampai saat ini PMKS yang telah terdata lebih dari 21 juta orang (Suharto, 2005: 54). PMKS ini meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
KESIMPULAN
Memang kita mengakui, batasan bagi keluarga miskin yang dimiliki saat ini hanya baru bisa mengandalkan dari dua sumber, yaitu BPS dan BKKBN. Karena kedua sumber ini sepertinya telah memiliki rasionalisasi yang banyak dipercaya oleh sebagian lembaga pemerintah dan lembaga lainnya yang memiliki perhatian terhadap penanggulangan kemiskinan di tanah air ini. Namun sayangnya data BPS dan BKKBN ini belum bisa dipakai untuk poverty targeting yang bisa melacak siapa sesungguhnya yang berhak atas dana atau bantuan yang dituangkan dalam suatu program tertentu misalnya subsidi langsung tunai kompensasi BBM. Data BPS secara inheren baru dirancang untuk melihat kecenderungan umum kemiskinan yang diukur melalui suatu garis kemiskinan. Sehingga orang atau keluarga miskin disini menjadi ?anonim?.
Data kemiskinan BPS barangkali juga baru bisa merupakan peta umum kemiskinan. Lalu bisakah kita menemukan orang atau keluarga miskin melalui program-program targetting dengan menggunakan alat-alat atau kriteria yang dimilikinya? Peta ini bisa jadi hanya merupakan necessary condition-nya dan masih diperlukan sufficient condition-nya dengan bertanya pada orang atau keluarga miskin itu. Melalui syarat terakhir ini kita harus terus berupaya untuk bisa menemukan indikator lokal, yang dibangun oleh dan untuk kepentingan orang miskin di tingkat mikro.
tksk lah yang diharapkan menjadi ujung tombak dari pendataan, inventarisasi, pemetaan, motivator, penghubung dari berbagai stekhoder di wilayah kecamatan sekaligus penggerak orsos, ormas yang bergerak dalam kegiatan sosial untuk selalu berupaya bersama sama menangani PMKS dan menggali, menggerakkan potensi sumber kesejahteraan sosial
perlu disadari bahwa kemiskinan bukan hanya sederetan angka, tetapi menyangkut nyawa jutaan rakyat miskin, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan, kawasan pesisir, dan kawasan tertinggal. Sehingga masalah kemiskinan menyentuh langsung nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan dan keadilan. Keberadaan masyarakat pedesaan, yang sampai saat ini masih belum terlihat mampu beranjak dari himpitan kemiskinannya. karena kemiskinan yang terjadi bukan hanya karenan rendahnya pendapatan, keterbatasan sarana dan prasarana tetapi juga menyangkut kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin.
Masalah kemiskinan ini berkaitan erat dengan tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin dalam mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya secara bermartabat. Menjalani kehidupan yang selalu berada dalam jeratan kemiskinan bisa menjadikan seseorang terjerumus ke dalam pola kehidupan yang membawa kenistaan. Untuk bisa bermartabat dalam kehidupannya, masyarakat perlu ditopang oleh kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak.
Walupun sampai saat ini masih belum ada kesepahaman dan kesepakatan dalam penentuan indikator kemiskinan. Sehingga secara riil dalam menentukan data masyarakat miskin yang sesuai dengan keberadaannya masih sulit untuk dimiliki. Banyak hal memang yang mempengaruhi seseorang dikatakan miskin bila keadaannya memang dia tidak mampu berdiri sederajat dengan lingkungan masyarakat secara memadai, maka kemiskinan yang terjadi mempunyai rentang dimensi dan kerentanan yang lebar. Meskipun demikian bukan hanya sekedar kemiskinan relatif yang perlu dipersoalkan, tetapi kemiskinan absolut yang dapat membuat seseorang tidak mempunyai kemampuan untuk mengakses segala kebutuhan pokok bagi keberlangsungan hidupnya.
Upaya memahami kemiskinan secara holistik (menyeluruh) adalah penting. Bagaimana orang miskin bisa mengakses pangan murah, memperoleh pelayanan gizi dan kesehatan, menempuh pendidikan tinggi, semua itu perlu dipahami oleh para pembuat atau penentu kebijakan.pemahaman mengenai karakteristik orang miskin merupakan pintu untuk bisa memecahkan masalah kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) diantaranya yang telah memiliki karakteristik masyarakat miskin yang diistilahkan dengan indikator kemiskinan dan indikator ini yang sampai saat ini lazim digunakan walaupun masih terdapat limitasi tinggi. Namun dengan adanya hasil yang telah dimiliki seperti ini juga sudah bisa digunakan sebagai ?tongkat pembimbing ke arah kegelapan? dalam melacak keberadaan orang miskin. Dengan meminjam pendapatnya Prof. AH. Nasution dalam pengukuhan Guru Besarnya di Institut Pertanian Bogor (Seldadyo, 2005:1) masih lebih baik punya informasi biarpun itu salah dari pada tanpa informasi sama sekali. Ini tindakan minimal. Untuk lebih sesuai lagi perlu terus dilakukan perbaikan sehingga ?tongkat? itu bisa benar-benar bermanfaat.
DATA YANG TEPAT TENTANG KELUARGA MISKIN
Hingga saat ini memang kita hanya mengandalkan dua sumber data ketika membicarakan masalah kemiskinan. Data Susenas BPS dan data Keluarga (Pra-) sejahtera BKKBN. Dari kedua lembaga yang berbeda ini tentu kita akan mendapat informasi yang berbeda pula tentang data jumlah warga masyarakat miskin. Diantaranya versi BPS tahun 2004 jumlah warga miskin sebanyak 16,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia dan versi BPS warga miskin ini sebanyak 30 persen dari jumlah penduduk (Sri Mulyani, 2005:2). Kedua versi data ini memang bisa dipercaya secara ilmiah namun sama-sama memiliki keterbatasan. BPS dalam pelaksanannya menggunakan metode tehnik sampling sehingga menjadi sulit untuk menentukan dimana letaknya warga atau keluarga miskin tersebut berada. Sedangkan BKKBN dengan mengandalkan petugasnya yang turun langsung ke lapangan namun data ini juga masih sulit untuk digunakan dalam hal lain karena spesifik hanya untuk tujuan para petugas BKKBN sendiri.
Data yang dihasilkan dari kedua lembaga ini sepertinya membuat kita masih terus mengernyitkan kening. Rasanya pemerintah telah lama mencanangkan program pembangunan dalam rangka pengentasan kemiskinan tetapi angka yang begitu banyak masih saja belum pernah habis. Kita akan lebih tercengang lagi bila data yang dimunculkan berdasarkan indikator internasional seperti yang terdefinisi miskin dalam kategori Millenium Development Goals (MDGs) adalah warga miskin yang berpendapatan di bawah satu dolar AS setiap harinya, bisa jadi data itu akan bertambah menjadi ?tiga kali lipat? dari yang kita miliki saat ini. Kemudian Asian Development Bank memberikan informasi data warga miskin di Indonesia tahun 1999 totalnya sebanyak 23,4% (Poperty Statistic, 2005:1). Bahkan bila menggunakan dasar garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia sebesar $US2 perkapita perhari (Suharto, 2005: 19), setelah dikonversi ke dalam rupiah menjadi sekitar Rp. 540.000 maka tentunya jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 60% dari total penduduk saat ini.
Jumlah warga miskin ini juga pada setiap kali kemunculannya selalu berubah dan satu sama lain selalu berbeda. Sudah barang tentu hal ini menuntut adanya kriteria atau indikator yang sama bagi keluarga miskin yang benar-benar tepat yang bisa memberikan petunjuk untuk bisa mendapatkan data yang betul-betul akurat. Siapapun yang mengukurnya akan mendapatkan hasil yang sama. Data ini bisa digunakan untuk berbagai kepentingan, tidak hanya kepentingan sesaat seperti kampanye dalam pemilihan umum, pemilihan kepala daerah dan sebagainya. Banyak kalangan menyadari bahwa tidak mudah membuat kesepakatan indikator kemiskinan ini. Diantaranya seperti yang dikatakan Sri Mulyani (2005:1) setiap kali kita meluncurkan program baru pasti diawali dengan perdebatan data mana yang harus digunakan. Namun beliau sepertinya lebih cenderung untuk lebih memperhatikan BPS alasannya sederhana karena pada saat kampanye Presiden RI yang lalu data kemiskinan yang digunakan adalah data BPS.
Sudah saatnya memang kita memiliki data yang berasal dari satu lembaga seperti BPS dengan dukungan sumber daya yang ada, atau bekerja sama dengan pemerintah daerah secara formal BPS bisa mengoptimalkan hasil pendataannya. Data yang dihasilkan nantinya tidak hanya mampu memprediksi saja tapi data yang benar-benar riil. Data ini juga secara transparan harus bisa dicek dan diricek oleh siapapun. Bahkan menurut Alwi Sihab (2005: 1) kaitannya dengan pencapaian target tujuan pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) dan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) perlu adanya target sasaran yaitu kesepahaman dari seluruh kabupaten/kota yang telah melakukan pemilihan kepala daerah langsung (pikadal) tentang masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Adanya komitmen para pemangku kepentingan daerah untuk melakukan pengarustamaan penanggulangan kemiskinan dalam dokumen RPJMD serta perencanaan anggaran. Dengan adanya dasar seperti ini penanganan program kemiskinan bisa langsung tepat sasaran.
INDIKATOR KEMISKINAN
Sampai saat ini BPS menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran komoditas pangan dan non pangan. Komoditas pangan terpilih terdiri dari 52 macam, sedangkan komoditas non pangan terdiri dari 27 jenis untuk kota dan 26 jenis untuk desa. Garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS dari tahun ketahun mengalami perubahan. Seperti menurut Indonesian Nutrition Network (INN) tahun 2003 adalah Rp. 96.956 untuk perkotaan dan Rp. 72.780 untuk pedesaan. Kemudian menteri sosial menyebutkan berdasarkan indikator BPS garis kemiskinan yang diterapkannya adalah keluarga yang memilki penghasilan di bawah Rp. 150.000 perbulan. Bahkan Bappenas yang sama mendasarkan pada indikator BPS tahun 2005 batas kemiskinan keluarga adalah yang memiliki penghasilan dibawah Rp. 180.000 perbulan.
Dalam penanggulangan masalah kemiskinan melalui program bantuan langsung tunai (BLT) BPSpun telah menetapkan 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin, seperti yang telah disosialisasikan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika (2005), rumah tangga yang memiliki ciri rumah tangga miskin, yaitu:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari babmu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha,buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Ada satu kriteria tambahan lagi, hanya tidak terdapat dalam leaflet bahan sosialisasi Departemen Komunikasi dan Informatika tentang kriteria rumah tangga miskin, yaitu rumah tangga yang tidak pernah menerima kredit usaha UKM/KUKM setahun lalu.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka rumah tangga yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan tunai langsug itu adalah: a) rumah tangga yang tidak memenuhi kriteria tersebut di atas, b). PNS, TNI, Polri/pensiunan, c). pengugsi yang diurus oleh pemerintah, dan d). penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal.
Dengan menggunakan kriteria seperti ini, BPS telah berhasil mendata keluarga miskin sebanyak 14.277.012 kepala keluarga. Setelah data itu direalisasikan dalam pelaksanaan BLT ternyata masih terdapat kelemahan dan kekurangan. Diantaranya ditemukan 530 Kartu Kompensasi BBM bermasalah di Sulsel. BPS Jember menarik kembali sebanyak 2.292 Kartu Kompensasi BBM dan di Yogyakarta sebanyak 50.000 (lima puluh ribu) keluarga miskin belum memperoleh Kartu Kompensasi BBM. (www.gatra.com , 2005)
Sebetulnya Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1976 melalui Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) telah menyusun komposisi kebutuhan dasar pangan dan non pangan. Komposisi tersebut dijadikan indikator untuk mengukur pengeluaran perkapita di daerah kota dan desa. Komoditas pangan terdiri dari padi-padian dan hasil-hasilnya, ubi-ubian dan hasil-hasilnya, ikan dan hasil-hasilnya, daging, telur, susu dan hasil-hasil dari susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, konsumsi lainnya, makanan yang sudah jadi, minuman yang mengandung alkohol, tembakau dan sirih. Sedangkan komoditas non pangan adalah perumahan, bahan bakar, penerangan, air, barang-barang dan jasa-jasa, pakaian, alas kaki dan tutup kepala, barang-barang yang tahan lama, keperluan pesta dan upacara. Dengan penetapan indikator yang dimiliki BPS seperti ini Mubyarto (2005:1) memberikan dukungannya, artinya indikator seperti ini bisa dijadikan dasar makro dalam menentukan data keluarga miskin, selanjutnya dalam era otonomi daerah maka pemerintah daerahlah yang secara rinci menyesuaikan dengan program/proyek penangulangan kemiskinan.
INN memandang indikator yang telah ditetapkan BPS belum cukup untuk memberi batasan seseorang atau keluarga itu berada diluar garis batas kemiskinan jika dengan penghasilannya baru mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum. Sebagai mahluk sosial anggota keluarga harus dapat berfungsi sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan sekitarnya, ini berarti diantara anggota keluarga mampu menyumbang bila tetangganya melakukan hajatan, terkena musibah, mampu menjangkau sumber-sumber informasi penting seperti radio, koran dan sebagainya. Diantaranya juga indikator ini bisa memasukkan kriteria para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang sampai saat ini PMKS yang telah terdata lebih dari 21 juta orang (Suharto, 2005: 54). PMKS ini meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
KESIMPULAN
Memang kita mengakui, batasan bagi keluarga miskin yang dimiliki saat ini hanya baru bisa mengandalkan dari dua sumber, yaitu BPS dan BKKBN. Karena kedua sumber ini sepertinya telah memiliki rasionalisasi yang banyak dipercaya oleh sebagian lembaga pemerintah dan lembaga lainnya yang memiliki perhatian terhadap penanggulangan kemiskinan di tanah air ini. Namun sayangnya data BPS dan BKKBN ini belum bisa dipakai untuk poverty targeting yang bisa melacak siapa sesungguhnya yang berhak atas dana atau bantuan yang dituangkan dalam suatu program tertentu misalnya subsidi langsung tunai kompensasi BBM. Data BPS secara inheren baru dirancang untuk melihat kecenderungan umum kemiskinan yang diukur melalui suatu garis kemiskinan. Sehingga orang atau keluarga miskin disini menjadi ?anonim?.
Data kemiskinan BPS barangkali juga baru bisa merupakan peta umum kemiskinan. Lalu bisakah kita menemukan orang atau keluarga miskin melalui program-program targetting dengan menggunakan alat-alat atau kriteria yang dimilikinya? Peta ini bisa jadi hanya merupakan necessary condition-nya dan masih diperlukan sufficient condition-nya dengan bertanya pada orang atau keluarga miskin itu. Melalui syarat terakhir ini kita harus terus berupaya untuk bisa menemukan indikator lokal, yang dibangun oleh dan untuk kepentingan orang miskin di tingkat mikro.
tksk lah yang diharapkan menjadi ujung tombak dari pendataan, inventarisasi, pemetaan, motivator, penghubung dari berbagai stekhoder di wilayah kecamatan sekaligus penggerak orsos, ormas yang bergerak dalam kegiatan sosial untuk selalu berupaya bersama sama menangani PMKS dan menggali, menggerakkan potensi sumber kesejahteraan sosial
0 komentar:
Posting Komentar