Suatu telaahan tentang tema Hari Nasional Penyandang Cacat tahun 2009. Dua belas tahun setelah Rakyat Indonesia mengundangkan UU No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan sebelas tahun tentang Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentqng Usaha Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat di Indonesia).
A Pendahuluan
Hari Nasional Penyandang Cacat tanggal 3 Desember 2009 di Indonesia dengan tema “Pemberdayaan Penyandang Cacat Dan Komunitasnya Di Segala Bidang Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Yang Bermartabat, sangat tepat karena kita merupakan bagian dari masyarakat dunia. Indonesia sudah seharusnya melaksanakan pemberdayaan penyandang cacat disegala bidang karena pada bulan Oktober 2002 di Otsu Jepang diadakan Pertemuan Tingkat Tinggi Antar Pemerintah, dari negara-negara Asia dan Pasifik yang termasuk anggota PBB, salah satu Negara pesertanya adalah Indonesia. Pada pertemuan tersebut telah DISEPAKATI dan DICANANGKAN perpanjangan Asian and Pacific Decade of Disabled Persons (APDDP}, 1993 - 2002 untuk dekade kedua 2003 s/d 2012 yang dikenal dengan sebutan “ Biwako Millenium Frameworks for Action: Toward an Inclusive, Barrier Free and Right Based Society For Persons With Disabilities in Asia and the Pacific. Sebagai tindaklanjut dari keikutsertaan dan kesepakatan tersebut, Indonesia telah menyusun “Rencana Aksi Nasional Penyandang Cacat 2004 s/d 2013, Indonesia” .
B Permasalahan Penyandang Cacat
Penyandang cacat merupakan salah satu dari permasalahan sosial yang ada di Indonesia. Menurut Horton dan Leslie dalam Edi Suharto, 1997, p 153, masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirasakan banyak orang tidak menyenangkan serta menuntut pemecahan melalui aksi sosial secara koletif. Sementara menurut Robert L, Barker, menyatakan Social Problems : Conditions among people leading to social responses that violate some people’s values and norms and cause emotional or economic suffering. Examples of social problem include crime, social inequality, poverty, racism, drug abuse, family problerms, and maldistribution of limited resources. (Robert L, Barker 1999, p 452).
Bertitiktolak dari batasan tersebut maka penyandang cacat disebut masalah sosial karena sebagai sesuatu kondisi yang mengarah kepada reaksi yang melanggar nilai-nilai, norma-norma dirasakan banyak orang dan mengakibatkan masalah emosional dan masalah ekonomi. Kecacatan yang mereka alami mengakibatkan adanya ketidaksamaan sosial, diskriminasi, permasalahan keluarga, pendistribusian yang salah tentang sumber-sumber yang terbatas dan kemiskinan. Permasalahan tersebut menuntut pemecahan.
Penyandang cacat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu permasalahan penyandang cacat merupakan permasalahan bangsa Indonesia. Mereka hidup sama seperti anggota masyarakat lainnya, ingin dihargai dan menghargai, ingin dicintai dan mencintai, ingin memiliki dan dimiliki, mempunyai karsa dan rasa, mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan sama seperti manusia lainnya. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka permasalahan penyandang cacat akan tetap ada ditengah tengah masyarakat Indonesia apabila tidak ditangani secara benar.
Permasalahan yang sangat mendasar tentang penyandang cacat adalah kurangnya pemahaman masyarakat maupun aparatur pemerintah yang terkait tentang keberadaan penyandang cacat. Adanya anggapan bahwa penyandang cacat merupakan aib, kutuk, memalukan, dianggap sama dengan orang sakit, dianggap tidak berdaya sehingga tidak perlu diberikan pendidikan, mereka cukup dikasihani dan diasuh untuk kelangsungan hidup. Mereka tinggal dirumah, terperangkap dirumah masing-masing, tidak menyusahkan orang lain dan mudah untuk diawasi oleh orang tua atau keluarga. Sebahagian dari mereka menjadi bahan obyekan sebagai peminta-minta. Keadaan demikian telah berakar kuat di masyarakat, sehingga sangat sulit untuk memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada penyandang cacat. Disamping itu fasilitas berupa aksesibilitas fisik dan non fisik untuk penyandang cacat relatif sangat terbatas, sehingga mereka sulit untuk bergerak secara mandiri.
Secara umum permasalahan penyandang cacat dapat dibagi dalam dua katagori sbb :
1 Permasalahan yang berasal dari dalam diri penyandang cacat itu sendiri antara lain:
1. Kurangnya pemahaman akan diri sendiri oleh penyandang cacat, sehingga tidak tahu apa potensi yang dimiliki dan bagaimana cara mengembangkannya.
2. Tidak memiliki ketrampilan yang memadai karena tidak pernah mendapat kesempatan untuk pendidikan atau pelatihan.
3. Merasa rendah diri (inferiority complex) karena kecacatannya, sehingga jarang bergaul dengan orang-orang di sekelilingnya.
4. Keadaan ekonomi lemah karena tidak ada sumber penghasilan menetap.
5. Adanya ketergantungan pada orang lain.
6. Keterasingan secara sosial
2. Permasalahan yang berasal dari luar diri penyandang cacat antara lain:
1. Masyarakat, aparatur pemerintah dan dunia usaha masih banyak yang belum memahami eksistensi penyandang cacat sebagai potensi Sumber Daya Manusia sehingga diabaikan.
2. Stigma dalam masyarakat, memiliki anggota keluarga cacat marupakan aib, memalukan, menurunkan harkat dan martabat keluarga.
3. Pandangan masyarakat bahwa penyandang cacat sama dengan orang sakit, perlu perlakuan khusus sehingga memperoleh perlindungan berlebihan.
4. Perlakuan masyarakat diskriminatif dalam berbagai hal termasuk dalam rekruitmen tenaga kerja.
5. Aksesibilitas penyandang cacat baik aksesibilitas fisik maupun aksesibilitas non fisik yang tersedia sangat terbatas.
Dampak lebih lanjut permasalah tersebut dalam kehidupan penyandang cacat yaitu:
1. Adanya keterbatasan dalam mengembangkan potensi dirinya.
2. Kurang kemampuan atau keberanian mengungkapkan tentang keinginannya.
3. Kesempatan untuk belajar sangat terbatas atau tidak ada sama sekali.
4. Tidak mampu untuk hidup mandiri secara ekonomi.
5. Ketergantungan hidup pada orang lain secara sosial dan ekonomi.
Permasalahan tersebut akan dialami oleh penyandang cacat sepanjang hayatnya, apabila tidak ada langkah-langkah kongkrit untuk mengatasinya. Oleh karena itu perlu adanya penanganan secara komprehansif, lintas sektoral dan lintas disiplin serta diperlukan adanya kesungguhan dari semua pihak yang terkait. Penanganannya dari dua sisi yakni peningkatan kapasitas penyandang cacat dan pembenahan pandangan masyarakat tentang penyandang cacat.
C Pemberdayaan Penyandang Cacat
Pemberdayaan mempunyai makna yaitu suatu proses kegiatan untuk meningkatkan kemampuan seseorang, kelompok atau masyarakat yang dibantu, agar mereka dapat membantu dirinya sendiri. Konsep tersebut sejalan dengan konsep pertolongan dalam pekerjaan sosial yakni “To help the people to help themselves“ atau membantu orang agar dapat membantu dirinya sendiri. Membantu orang, kelompok atau masyarakat agar mereka dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan baik.
Pemberdayaan menurut Guttierez 1994, p.202, Empowerment Practice in Social Work, menyatakan : “Empowerment is the process of increasing personal, interpersonal, or political power so that individuals, families and communities can take action to improve their situation”. Stephen P. Robbins, 1993, p.682, menyatakan Empowerment is a process that increases employees’ intrinsic task motivation. Pemberdayaan merupakan proses dalam rangka pengembangan pribadi, hubungan antar pribadi atau kekuatan politik agar individu individu, keluarga dan masyarakat dapat memperbaiki keadaannya.
Dalam kaitan dengan pemberdayaan penyandang cacat, perlu adanya peningkatan kapasitas diri melalui peningkatan sarana dan prasarana/fasilitas maupun kesempatan kepada penyandang cacat. Dasar pemberdayaan adalah palsafah dan budaya demokrasi yang memberikan kesempatan kepada warga negara untuk turut serta dalam pembuatan keputusan yang mempunyai pengaruh dalam kesejahteraan mereka. Pemberdayaan disini didasarkan pada asumsi pekerjaan sosial, dalam sistim kemanusiaan dan pemberdayaan sbb :
1. All people deserve acceptance and respect
2. Clients know their situations best.
3. All human system behavior makes sense in context.
4. Empowerment is a collaborative process with clients and practitioners working together as a partners.
5. Empowering process views client systems as competent and capable, give access to resources and opportunities.
6. Clients must perceive themselves as causal agent able to effect change
7. Level of awareness is a key issue in empowerment; information is necessary for change to occur . (Karla & Brenda, 1999,p 4-5)
Tidak ada seorang manusia di dunia ini yang sempurna, semua mumpunyai kelebihan dan kekurangan, mempunyai potensi yang dapat dikembangkan sesuai dengan keadaan masing-masing. Semua ingin diterima dan dihormati, ingin dicintai dan mencintai, ingin diperlakukan secara wajar sebagai warga negara Indonesia. Sejalan dengan asumsi tersebut maka pendekatan terhadap penyandang cacat berobah dari Charity Approach ke Base on Human Right Approach. Mereka diberikan pemberdayaan bukan karena belas kasihan atau karena amal tetapi karena mereka mempunyai hak untuk memperolehnya.
Menyadari hal tersebut UN-ESCAP mengadakan Pertemuan Tingkat Tinggi Antar Pemerintah Asia Pasifik bulan Oktober 2002 di Otsu Jepang, salah satu negara pesertanya adalah Indonesia. Pada pertemuan tersebut DISEPAKATI dan DICANANGKAN perpanjangan Asian and Pacific Decade of Disabled Persons (APDDP) 1993 - 2002 untuk dekade selanjutnya 2003 s/d 2012. Dekade kedua ini lebih dikenal dengan “ Biwako Millenium Frameworks for Action: Toward an Inclusive, Barrier Free and Right Based Society For Persons With Disabilities in Asia and the Pacific. .
Tujuan utama perpanjangan tersebut diharapkan bangsa-bangsa dikawasan Asia dan Pasifik pada tahun 2012, sudah menyiapkan, memberikan fasilitas dan kesempatan yang sama bagi penyandang cacat dalam segala aspek penghidupan dan kehidupan. Mereka hidup menyatu didalam kehidupan masyarakat umum/inklusi. Aksesibilitas fisik dan non fisik telah tersedia bagi penyandang cacat sehingga mereka dapat menikmati kebebasan serta kemandirian.tanpa tergantung pada orang lain.
Indonesia sebagai salah satu negara peserta telah menindaklanjuti kesepakatan tersebut dengan menyusun “Rencana Aksi Nasional (RAN) Penyandang Cacat 2004 s/d 2013, Indonesia. Penyusunannya terdiri dari team lintas sektoral dari seluruh Departemen/ Instansi /Lembaga yang terkait dengan pemberdayaan penyandang cacat ditambah dengan LSM, Oraganisasi Sosial “for” /”of” Penyandang Cacat dan tokoh-tokoh yang peduli terhadap penyandang cacat. Didalam RAN masing-masing Departemen/ Instansi /Lembaga yang terkait mempunyai tugas dan tanggung jawab secara rinci. Tugas pemberdayaan penyandang cacat bukan tanggung jawab Kementerian Sosial saja tetapi tanggung jawab pemerintah, masayrakat dan dunia usaha seperti yang ada dalam RAN Penca Indonesia.
Melalui HIPENCA tahun 2009 dengan tema “Pemberdayaan Penyandang Cacat Dan Komunitasnya Di Segala Bidang Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Yang Bermartabat” merupakan langkah yang tepat mengingat akhir Dekade kedua tahun 2012 sudah hampir tiba, sementara kegiatan pemberdayaan penyandang cacat belum dapat berjalan sebagaimana yang diharapakan. Departemen, Instansi atau lembaga terkait belum melaksnakan melaksanakan fungsinya dengan baik dalam rangka pemberdayaan penyandang cacat. Agar tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik maka perumusan kebijakan pemberdayaan Penyandang cacat dari masing masing para pihak, berdasarkan masalah dan kebutuhan penyandang cacat. Bagaimanapun baiknya rumusan kebijakan didalam RAN Penca 2004 -2013, tanpa adanya implementasinya untuk pemberdayaan penyandang cacat tidak akan tercapai.. Semaoga apa yang telah dicanangkan pada HIPENCA Nasional tahun 2009, dapat benar-benar direalisasikan dalam tahun 2010.- 2013. Bravo Kementerian Sosial.
Penulis,
Robinson W.Saragih
Widyaiswara Utama Departemen Sosial RI
Daftar Kepustakaan.
1. Chathapuram S.Ramanathan and Rosemery J.Link, 1999, All Our Future, Principle and Resources for Social Work Practice in a Global Era, Wadsworth Publishing Company, Belmont, California 94002.
2. …………, Depertemen Social RI, 2005, UIndang Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat , Jakarta.
3. Dubois Brenda, Karla KM, 2005, Social Work An Empowering Profession, Pearson Education Inc, New York
4. Robbins, Stephen P, 1993, Organizational Behavior, Six Edition, Prentic Hall International Editions, New Jersey.
5. Suharto, Edi, Drs, M.Sc, Pembangunan Kebijakan Sosial & Pekerjaan Sosial, 1997, Lembaga Studi Pembangunan STKS Bandung,
6. Sukoco, Dwi Heru, 1992, Profesi Pekerjaan Sosial, Koperasi Mahasiswa STKS , Bandung.
7. …………, UN ESCAP, Asian And Pacific Decade of Disabled Persons, 2003 -2012, Bangkok, Thailand.
8. Sambutan Wakil Presiden RI, pada Acara Puncak Hari International Penyandang Cacat tahun 2009, di Istana Wakil Presiden, tanggal 3 Desmber 2009.
9. Sambutan Menteri Sosial RI, pada Acara Puncak Hari International Penyandang Cacat tahun 2009.
Senin, 18 Januari 2010
PEMBERDAYAAN PENYANDANG CACAT DAN KOMUNITASNYA DI SEGALA BIDANG UNTUK MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN YANG BERMARTABAT
Diposting oleh TKSK PONOROGO jam 19.45
-
I. PENDAHULUAN Komunitas Adat Terpencil (KAT) merupakan salah satu permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia yang memerlukan perhat...
-
ktivitas doa merupakan bagian dari manajemen diri. Mengatur pribadi dengan tuntunan Ilahi, yakni dengan melakukan ikhtiar, baik vertikal ma...
-
Pernahkah kamu menghadapi situasi dimana harus memutuskan atau menentukan pilihan, tapi diri kamu dipenuhi keragu – raguan karena berbagai p...
-
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menja...
-
Satu persatu pintu globalisasi telah mulai terbuka diawali dengan AFTA 2003, disusul APEC 2010 hingga WTO 2020. Era globalisasi telah dimula...
0 komentar:
Posting Komentar